tessssss

Kamis, 17 Oktober 2019

Orang Jahat Terlahir Dari Orang Baik Yang Tersakiti ?

bismillah....

Judul tulisanku di atas bukanlah dalam rangka hendak menganalisa, bahkan bukan pula sebuah kesimpulan. Aku tidak berwenang untuk menyimpulkan demikian karena aku bukan ahlinya. Judul di atas merupakan pertanyaan dalam kepalaku, benarkah orang jahat itu terlahir dari orang baik yang tersakiti ?

Bahwa hidup adalah cobaan, itu sebuah keniscayaan. Jika menjadi baik atau jahat menyandarkan pada sebuah ujian dan cobaan hidup, bukankah itu alasan yang mengada-ada? Lebih kedengaran seperti sebuah keputusasaan.

Coba kita tilik dalam sejarah perjalanan Nabi, merekalah yang mengalami ujian hidup yang sangat berat. Namun tidaklah hal tersebut menjadikan mereka berputus asa hingga "banting setir" menjadi penjahat. Bahkan besarnya ujian tersebut justru semakin mendekatkan mereka pada Allah.

Tapi itu kan Nabi, yang memang mendapat wahyu dari Allah, alias digembleng langsung oleh Allah. Panteslah jika kuat dan istiqomah.

Oke, fine.

Tanpa disebut nama pun, terlalu banyak tokoh orang baik yang melegenda, yang berasal dari keterpurukan dan dizhalimi. Perlakuan yang semena-mena dan ketidakadilan atas mereka, tidak lantas menjadikan mereka menemukan alasan untuk menjadi jahat.

Tokoh Joker dalam film berjudul sama dengan namanya tersebut, patutlah dipahami dari sudut pandang berbeda. Bahwa dalam film tersebut dijelaskan bahwa Joker alias Arthur adalah seorang penderita penyakit yang berhubungan dengan psikologisnya, yang mengharuskan ia meminum obat dengan rutin. Penyakit tersebut yang disebabkan oleh kekerasan demi kekerasan yang ia alami semasa kecil oleh ibu angkatnya, terutama trauma di kepalanya.

Selain itu, ini hanyalah sebuah film. Buat aku, terlalu dipaksakan jika sadisme seorang Joker dihubung-hubungkan dengan mental illnessnya. Dalam artian, para penderita mental illness (yang terdiagnosa oleh ahli) janganlah merasa alur film ini merupakan acuan atau merupakan hubungan sebab akibat. Selain itu, bagi penonton yang sedang galau, jangan tetiba merasa menjadi seorang penderita mental illness sehingga merasa film Joker merupakan inspirasi untuk bersikap. Film hanyalah sebuah film. Tetaplah akal dan pikiran serta hati nurani yang menentukan siapa kita, bukannya film. Hanya saja aku sepakat, bagi mereka yang labil pikirannya sebaiknya tidak menonton film ini dan film-film sejenis.

Adalah mengherankan, jika seorang manusia dewasa yang tidak sedang menderita mental illness (terdiagnosa oleh ahli), yang selalu menghubung-hubungkan kelakuan jahatnya karena pengaruh pihak lain di luar dirinya. Apatah lagi jika ia menyatakan bahwa sikap jeleknya itu karena disebabkan oleh si Anu. Idih, betapa pengecutnya, seenaknya bertindak jelek terus melemparkan kesalahan pada orang lain. Jika misalnya ia menyatakan bersalah dan mengakui khilaf karena sebuah trauma, mungkin itu masih bisa diterima. Harusnya pula ia senantiasa dalam keadaan selalu melawan rasa traumanya tersebut. Namun jika malah asyik tenggelam, berbuat jelek bahkan jahat dengan enteng beralasan bahwa ia trauma, wah kebangetan banget.

Menghadapi beberapa trauma dalam hidup, meski keinginan untuk membalas begitu besar namun pilihan untuk menjauh dari orang-orang yang pernah jahat itulah yang kupilih. Jika sudah sedemikian beratnya, kadang berdoa saja. Berdoa menjadikan hati lebih tenang. Lagi pula, kita cukup berpuas diri dengan nasihat malaikat Jibril kepada Rasulullah, yang kira-kira berbunyi "Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, (namun ketahuilah) sesungguhnya engkau pasti akan mati. Cintailah siapa yang engkau suka, (namun ketahuilah) sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Berbuatlah sekehendakmu, kelak engkau pasti akan melihat balasannya".

Itulah salah satu cara untuk survive hidup di dunia. Jika tidak menempuh cara demikian, maka tidak tahu bakal jadi apa aku ini. Pengkhianatan teman dan orang yang kupercaya, pengkhianatan dan perlawanan dari orang yang pernah aku bantu, dan konflik-konflik lainnya, termasuk cibiran dan bullying yang kuterima, jika tidak bersandarkan diri pada Allah, maka hancurlah diri ini.

Antara menjadi malaikat atau iblis, sejatinya manusia tetaplah seorang manusia. Pilihan ada di depan matanya. Jangan memaksakan diri menjadi malaikat atau iblis, karena manusia diberi akal pikiran untuk memilih. Sekali lagi, hidup itu sudah menajdi sunnatullah selalu dipenuhi dengan cobaan dan ujian.

Semoga kita semua termasuk dalam orang-orang yang selalu sabar dan selalu dalam petunjukNya.

1 komentar: