tessssss

Kamis, 07 November 2019

Ketika Menginap Hampir Satu Bulan Di RS Aloei Saboe Gorontalo

Bismillah.....

Baru habis ngopi, belum pengen makan siang....pengennya nulis

Sekitar sejam yang lalu seorang kawan masa kecil di Gorontalo menelepon, ternyata beliau sedang tugas ke Jakarta. Kemudian, mulai deh ingatan me-rewind ke masa kecil dulu ketika menghabiskan lima tahun di kota Gorontalo.

Dari sekian banyak kenangan, salah satu yang paling berkesan adalah ketika aku jatuh sakit, menderita sakit Hepatitis sehingga harus dirawat inap di RS Aloei Saboe. Awal mula aku sakit ketika bulan Ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir, saat itu aku sudah libur sekolah. Kebiasaan sehabis sholat Subuh, aku membantu Mama membersihkan kenari untuk dibuatkan kue. Tapi entah kenapa aku merasa lesu dan dingin, jadinya kerjaanku tidak selesai dan aku akhirnya berbaring.

Hingga Mama Papa pulang kantor aku masih saja berbaring. Ketika waktu berbuka puasa tiba, aku cuma minum seteguk teh manis dan gigit kecil sebuah kue bolu cokelat. Itu sudah cukup jadi alarm buat ortu bahwa kondisiku tidak main-main. Kemudian aku demam tinggi, plus lututku mendadak lemas sehingga tidak bisa menopang tubuhku sendiri ketika berdiri, alias aku seperti lumpuh. Selain itu betisku jika dipegang terasa sakit sekali. Oh tidak! Kaget plus takut, malam itu juga aku dibawa lari ke RS Siti Khadijah, disana aku dirawat hingga beberapa hari.

Setelah dirawat, tidak ada perubahan padaku. Maka ketika malam takbiran, aku dibawa pulang kembali sama ortu. Besoknya ketika abis sholat idul fitri, tetangga berdatangan ke rumah, menyalami Mama Papa serta aku. Aku dipakaikan baju baru yang dibeli sebelum sakit. Anehnya badanku bengkak, sepatu yang dibeli mendadak tidak muat. Selain itu kulit dan mataku menguning. Mama menangis saat itu.

Sekitar hari ke tiga lebaran, aku dibawa lagi ke RS Aloei Saboe, rumah sakit pemerintah dan lebih lengkap. Disana langsung aku diopname, dipasangi infus juga. Mulai deh menghabiskan waktu di rumah sakit lagi.

Aku menghabiskan kurang lebih 21 hari di rumah sakit. Jadi aku melalui siang dan malam yang panjang disana. Pernah suatu malam aku terbangun karena mendengar suara langkah-langkah kaki cepat dan sebuah kereta didorong. Aku terbangun dan bertanya sama Papa. Papa menjawab bahwa mungkin ada yang meninggal di kamar tetangga. Lalu aku disuruh tidur kembali.

Begitulah, hampir tiap malam dan siang aku mendengar suara keributan di kamar-kamar tetangga (aku dirawat di kamar VIP, jadi penghuninya sendiri-sendiri), biasanya memang si sakit baru meninggal atau dalam keadaan gawat.

Pernah sebuah kejadian lucu, ketika aku sedang divisit dokter dan timnya. Saat itu salah seorang mantri memegang betisku dan memencetnya sehingga sakit. Aku spontan berteriak dan menangis kencang. Ketika itu umurku sudah 11 tahun, jadi suara teriakan aku sudah bukan kayak suara bocah lagi.

Seketika orang-orang berdatangan dan berkumpul di depan kamarku. Kenapa? Ternyata mereka mengira aku sudah meninggal dan yang berteriak histeris itu adalah Mamaku hehehehehehe. Barangkali yang ada dalam pikiran mereka adalah "ya Tuhan, akhirnya anak di kamar itu meninggal juga, sudah lama dia dirawat disitu" 😊😂

Tapi yang sangat menyenangkan adalah ketika siang hari aku mendapat kunjungan dari banyak tamu. Ada Kepala Sekolah di SD aku (SD Negeri 44 Kota Selatan, Gorontalo) beserta guru dan teman-teman sekelas, juga teman-teman kerja Mama dan Papa. Tetangga di sekitar rumahku pun banyak yang datang, bahkan ada yang datangnya berkali-kali. Karena tamuku banyak, jadi koleksi snack bawaan mereka pun banyak. Aneka biskuit, roti, cokelat. Masalahnya, aku tidak boleh memakan itu semua huhuhu... Sampai suatu hari aku menangis karena sangat ingin memakan itu tapi dilarang dokter. Aku hanya bisa makan makanan dari rumah sakit, plus makan "cemilan" khas berupa pepaya matang yang sudah kemerahan dan lembek dimasak bersama gula batu menjadi semacam bubur. Kebayang kan manisnya dan lembeknya.

Menjelang akhir masa rawat inapku, aku sudah agak kuat meski masih lumpuh. Jadi saat pagi dan sudah mandi, aku digendong Papa dan didudukkan di ruang tamu kamar yang menghadap jendela. Barulah aku bisa menatap dunia luar kembali. Eh tak lama berselang aku melihat keranda jenazah lewat di depan kamar diiringi orang-orang yang menenteng barang sambil menangis. Fiuh...tetanggaku kamarku ada yang meninggal lagi. Hidupku serasa begitu dekat dengan kematian.

Aku akhirnya bisa pulang ke rumah, ketika nafsu makanku membaik dan tidak butuh infus lagi. Namun lututku tetap lemas shingga aku masih lumpuh. Meski demikian menurut dokter itu bisa dirawat jalan karena saraf lututku masih aktif. Itu ditandai ketika dokter memukul lutut dengan alat semacam palu karet, lututku memberikan gerakan reflek.

Butuh waktu sekitar setahun sehingga aku bisa berjalan dan berlari lagi. Dalam masa pemulihan itu, aku memulai semuanya dari nol seperti bayi. Aku berlatih berdiri dengan memegang pada sesuatu. Kemudian aku bisa berdiri sendiri. Lalu aku dilatih berjalan dengan berpegangan pada kursi yang ditarik perlahan. Aku ingat sore-sore habis mandi, Kakakku yang melatih memegangi dan menarik kursi perlahan dan aku berjalan mengikutinya.

Masa pemulihan itu, ketika aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, tetap saja aku bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Makanya aku terus dikasih vitamin saraf oleh dokter. Akhirnya, terbawa hingga ke masa kini ketika dewasa dan menua, ketika berjalan aku terkadang bisa hampir jatuh. Bahkan saat berjalan dari ruangan menuju toilet, beberapa kali aku seperti tersandung sesuatu padahal tidak ada. Mungkin sudah takdir ya.

Menghabiskan waktu 3 minggu di rumah sakit, sebuah masa yang cukup panjang dan berkesan buatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar