bismillah...
Berfilosofi bukanlah berpikir yang rumit dengan mengerutkan kening sambil mengkhayal. Berfilosofi bagi aku adalah memperhatikan kehidupan dalam diri dan sekeliling, termasuk merenungkan berbagai sebab akibat kejadian sehari-hari, baik yang menimpa kita maupun yang menimpa orang lain.
Berfilosofi bagi aku, tidak akan sama dalam perspektif dengan orang lain, karena sudut pandang dan dogma yang dianut berbeda-beda. Bahkan yang seagama pun kadang dogmanya berbeda. Berfilosofi ialah menemukan frekuensi kita dan merasakan siapa saja yang hidup satu frekuensi dengan kita. Sehingga berfilosofi itu akan menjadikan kita bisa merasakan sebuah resonansi, yaitu saling mempengaruhi getaran antar benda satu dengan benda lain yang berfrekuensi sama.
Berfilosofi sejatinya telah dilakukan sejak kanak-kanak, ketika kita masih bocah dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar. Mengapa ini begini, mengapa itu begitu? Seringnya, pertanyaan itu mengendap dalam benak bocahku, hingga akhirnya mendapatkan sendiri jawabannya ketika dewasa, bahkan hingga setua ini.
Jadi, berfilosofi bukanlah pekerjaan yang rumit, melainkan berfikir ala bocah. Terkadang, filosofi itu kita dapatkan bukan dengan rentetan teori, melainkan dengan sebuah tindakan sederhana namun mendasar. Karena filosofi itu senantiasa menyatukan kita dengan hukum alam (sunnatullah).
Terkadang, aku merasa dalam lingkaran dekatku, katakanlah tempat kerja, tiada yang satu frekuensi dengan aku. Aku tidak berkecil hati. Dunia ini memang memiliki berbagai frekuensi. Namun seringnya justru aku menemukan seseorang yang satu frekuensi dengan aku, melalui bacaan, terutama buku. Itulah yang membuat aku merasa untuk harus terus membaca. Selain membaca buku, juga membaca alam. Alam sejatinya adalah hamparan bacaan yang tiada bertepi.
Maka berfilosofilah...
Filosofimu, adalah auramu. Filosofimu, adalah warna dasar hatimu. Teruslah menjadi jiwa yang "gelisah" akan pertanyaan-pertanyaan dalam hidup. Bermonologlah terus dengan Tuhan. Karena kamu pasti akan selalu satu frekuensi denganNya.
Sabtu, 28 Desember 2019
Sabtu, 16 November 2019
Bila Desember Tiba
Jauh di dusun yang kecil, disitu
rumahku
Lama sudah kutinggalkan, aku rindu
Tahun tahun tlah berlalu, menambah rinduku
Nantikan kedatanganku dusunku
Lama sudah kutinggalkan, aku rindu
Tahun tahun tlah berlalu, menambah rinduku
Nantikan kedatanganku dusunku
Kuingin mengulang lagi
Kenangan masa kecilku
Kenangan hari natal yang bahagia
Kenangan natal di dusun yang kecil
Kenangan masa kecilku
Kenangan hari natal yang bahagia
Kenangan natal di dusun yang kecil
Nopember sebentar lagi berlalu dengan cepatnya, Desember pun kini di pelupuk mata. Salah satu bulan yang penuh dengan romantisme buat aku, karena mengingatkanku pada kota Manado kampung halamanku.
Yeah, sebagai daerah dengan mayoritas pemeluk Nasrani, gaung Natal terasa semarak di kota ini. Sejak masih bulan Nopember, ornamen dan pohon Natal sudah mulai terpasang di berbagai pusat perbelanjaan. Tiap hari dengar lagu Holly Night-nya Mariah Carey, Jingle Bell versi Eminem, Merry Christmast-nya Celine Dion, baik di mall-mall maupun di angkot-angkot.
Namun di antara beberapa lagu "wajib" Natal di Manado, ada sebuah lagu yang sangat berkesan buat aku. Lagu itu adalah "Kenangan Natal di Dusun Yang Kecil" , sebuah lagu lawas yang dinyanyikan Charles Hutagalung bersama seorang anak kecil.
Aku lahir dan besar di Manado, dengan dikelilingi keluarga, tetangga dan teman yang mayoritas Nasrani. Sejak kecil hingga sebelum menikah, aku menghabiskan Natal bersama keluarga besar Mama di rumah Oma dan Opa di desa Laikit, sebuah desa yang sejuk penuh dengan kebun dan telaga ikan mas, di kaki gunung Klabat, kabupaten Minahasa Utara.
Opaku
bernama Frans Apelles Wullur, seorang pensiunan tentara zaman Belanda. Omaku
bernama Dortje Lontoh. Mereka memiliki tujuh anak, yaitu : Mami Yul Wullur, Mami Syane Wullur, Mami Emma Wullur, Om Nico Wullur, Mami Marie Wullur, Corry Wullur (Mamaku), Om Reppy Wullur.
Setiap
tanggal 24 Desember aku sudah diboyong Mama ke Laikit, melewatkan malam Natal
bersama Oma dan Opa, bersenda gurau dengan sepupu dan Om serta Tante. Biasanya
saat sore aku dan sepupu asyik nonton film bersama, kemudian malamnya kami
membantu Oma dan Opa memasang dan menghias pohon Natal.
Besoknya,
seisi rumah pergi ke Gereja kecuali aku, kakakku, Mama dan Papa. Kami menanti
di rumah sambil menonton tv yang biasanya memutar film keluarga. Setelah balik
dari gereja baru deh rumah terasa ramai karena Mama dan kakak beradiknya
berkumpul bersama Oma dan Opa. Bersama kami makan ikan mas dan nila woku, duhh
enaknya. Entah kapan lagi bisa makan ikan mas woku khas desa Laikit yang legend
itu hiks hiks...
Kebiasaan
berkumpul tersebut tetap berlanjut hingga Opa meninggal di tahun 2001, kemudian Oma pun meninggal di tahun 2015. Setelah aku menikah dan merantau ke Jakarta,
semuanya tinggal kenangan. Tante-Tanteku di Manado masih rutin berkumpul ketika
Natal dan Tahun Baru, sementara aku hanya menatap keceriaan mereka di sosial
media. Senang deh melihat mereka tetap kompak dan sehat selalu.
Oh
ya, satu lagi kenangan masa kecilku ketika bulan Desember, apalagi kalau bukan
deg-degan ketika Sinterklas datang berkunjung di komplek rumahku. Meski yang
dikunjungi hanya rumah kawan-kawanku yang Nasrani, namun aku sering banget ikut
seru-seruannya. Paling dapet permen dari Sinterklas heheheh, setelah sebelumnya
harus lari karena dikejar para Zwarte Piet alias Piet Hitam yang
suka bawa karung buat diiisi dengan anak yang nakal katanya hehehehhe.
You
better wacht out, Santa Claus is coming.....begitu lagu yang khas yang
mengingatkan aku pada kenangan Sinterklas. Kenangan Natal di dusun yang kecil,
desa Laikit yang penuh dengan kebun Rambutan dan aneka buah, serta penuh dengan
telaga dengan teratai dan ikan mas. Entah kapan lagi bisa pulang ke sana.
Kangen sekali.
Dari sepupuku
yang bernama Richter, aku mendapatkan soft copy foto kenangan. Berikut aku
lampirkan beberapa diantaranya.
![]() |
Natal Tempo Doeloe |
Foto di atas sudah lama sekali, aku lupa ini tahun berapa, mungkin sekitar tahun 1985/1986. Disitu aku (cewe paling kecil) berfoto bersama Richter (anaknya Mami Marie, kakak Mama), Kak Wawan (kakakku) dan Harly (anaknya Mami Emma, kakak Mama). Ceria banget ya, kami berpose di atas sebuah skuter di bawah pohon jambu di halaman depan rumah Oma Opa. Hingga terakhir aku mudik ke rumah Oma, pohon jambu itu masih ada.
Foto di atas dari kiri yaitu Kak Femmy (anaknya Mami Syane/Kakak Mama), aku, Harly dan Wawan. Masih di spot favorit kami yaitu skuter di bawah pohon jambu. Entah itu skuter milik siapa ya hehehe...
Foto kenangan semasa Oma dan Opa masih hidup. Opa dengan baju dan topi veteran tentara yang khas. Mulai dari kiri itu Mami Marie, Om Reppy, Mamaku, Om Niko, Mrs.X (aku ga tau itu siapa hehe), Kak Ria, Tante Nel, another Mrs.X, dan Tante Rury (isterinya Om Reppy). Adapun yang berdiri di depan dari kiri yaitu Wawan, Opa, Ronald, Rando, Oma dan Richter.
Nah foto di atas menampilkan momen seru-seruan ketika berkumpul. Mulai dari kiri yaitu Kak Illy, Mami Marie yang sedang berdansa dengan Tante Rury, Mami Emma di belakang Opa yang sedang menggendong Rando. So memorable...
Foto di atas seingatku adalah momen ketika kami ramai-ramai menjemput kedatangan Om Reppy dan Om Niko sekeluarga dari Jakarta. Mulai dari kiri : Kak Elni, Jimmy, aku (baju biru) yang sedang dipangku Oma, Tante Rury, Mami Emma dan Mr.X (aku ga tau, mungkin Om Wens yang bawa mobil kali ya hehe).
Foto di atas diambil ketika Natal 2004, Natal terakhir buat Mami Marie karena April 2005 beliau meninggal hiks hiks. Mulai dari kiri : Kak Reiny, aku (jilbab biru), kak Vonne, Kak Femmy yang memangku Kristanny anaknya Richter, Harly, Kak Fernan (suami kak Femmy, Richter dan isterinya Rynne.
Foto di atas kenangan Natal tahun 2005, selesai makan bersama kami ziarah ke makam Opa dan Mami Marie. Nampak Oma yang sudah makin sepuh, namun ternyata mampu bertahan hingga tahun 2013, beliau wafat dalam usia 92 tahun.
Foto di atas mulai dari kiri : Richter, Kak Sendy dan aku. Kami lagi ngobrol apa yah ini kok kayak serius banget hehehe. Kak Sendy nih juragan kue kering yang enak-enak. Idul Fitri tahun 2018 lalu aku jauh-jauh dari Tangerang memesan kue lebaran ke Kak Sendy di Tatelu, sebuah desa yang bersebelahan dengan desa Laikit. Habis, di Tangerang sini sangat susah cari kue kering yang enaknya sama dengan kue dari Manado.
Berikut ini foto-foto Natal 2009, ketika kami para cucu sudah dewasa dan berkeluarga. Jadi yang nampak sebagai bocah-bocah disini adalah cicit dari Oma dan Opa ya. Natal tahun 2009 juga si Umar sudah lahir.
Kamis, 07 November 2019
Ketika Menginap Hampir Satu Bulan Di RS Aloei Saboe Gorontalo
Bismillah.....
Baru habis ngopi, belum pengen makan siang....pengennya nulis
Sekitar sejam yang lalu seorang kawan masa kecil di Gorontalo menelepon, ternyata beliau sedang tugas ke Jakarta. Kemudian, mulai deh ingatan me-rewind ke masa kecil dulu ketika menghabiskan lima tahun di kota Gorontalo.
Dari sekian banyak kenangan, salah satu yang paling berkesan adalah ketika aku jatuh sakit, menderita sakit Hepatitis sehingga harus dirawat inap di RS Aloei Saboe. Awal mula aku sakit ketika bulan Ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir, saat itu aku sudah libur sekolah. Kebiasaan sehabis sholat Subuh, aku membantu Mama membersihkan kenari untuk dibuatkan kue. Tapi entah kenapa aku merasa lesu dan dingin, jadinya kerjaanku tidak selesai dan aku akhirnya berbaring.
Hingga Mama Papa pulang kantor aku masih saja berbaring. Ketika waktu berbuka puasa tiba, aku cuma minum seteguk teh manis dan gigit kecil sebuah kue bolu cokelat. Itu sudah cukup jadi alarm buat ortu bahwa kondisiku tidak main-main. Kemudian aku demam tinggi, plus lututku mendadak lemas sehingga tidak bisa menopang tubuhku sendiri ketika berdiri, alias aku seperti lumpuh. Selain itu betisku jika dipegang terasa sakit sekali. Oh tidak! Kaget plus takut, malam itu juga aku dibawa lari ke RS Siti Khadijah, disana aku dirawat hingga beberapa hari.
Setelah dirawat, tidak ada perubahan padaku. Maka ketika malam takbiran, aku dibawa pulang kembali sama ortu. Besoknya ketika abis sholat idul fitri, tetangga berdatangan ke rumah, menyalami Mama Papa serta aku. Aku dipakaikan baju baru yang dibeli sebelum sakit. Anehnya badanku bengkak, sepatu yang dibeli mendadak tidak muat. Selain itu kulit dan mataku menguning. Mama menangis saat itu.
Sekitar hari ke tiga lebaran, aku dibawa lagi ke RS Aloei Saboe, rumah sakit pemerintah dan lebih lengkap. Disana langsung aku diopname, dipasangi infus juga. Mulai deh menghabiskan waktu di rumah sakit lagi.
Aku menghabiskan kurang lebih 21 hari di rumah sakit. Jadi aku melalui siang dan malam yang panjang disana. Pernah suatu malam aku terbangun karena mendengar suara langkah-langkah kaki cepat dan sebuah kereta didorong. Aku terbangun dan bertanya sama Papa. Papa menjawab bahwa mungkin ada yang meninggal di kamar tetangga. Lalu aku disuruh tidur kembali.
Begitulah, hampir tiap malam dan siang aku mendengar suara keributan di kamar-kamar tetangga (aku dirawat di kamar VIP, jadi penghuninya sendiri-sendiri), biasanya memang si sakit baru meninggal atau dalam keadaan gawat.
Pernah sebuah kejadian lucu, ketika aku sedang divisit dokter dan timnya. Saat itu salah seorang mantri memegang betisku dan memencetnya sehingga sakit. Aku spontan berteriak dan menangis kencang. Ketika itu umurku sudah 11 tahun, jadi suara teriakan aku sudah bukan kayak suara bocah lagi.
Seketika orang-orang berdatangan dan berkumpul di depan kamarku. Kenapa? Ternyata mereka mengira aku sudah meninggal dan yang berteriak histeris itu adalah Mamaku hehehehehehe. Barangkali yang ada dalam pikiran mereka adalah "ya Tuhan, akhirnya anak di kamar itu meninggal juga, sudah lama dia dirawat disitu" 😊😂
Tapi yang sangat menyenangkan adalah ketika siang hari aku mendapat kunjungan dari banyak tamu. Ada Kepala Sekolah di SD aku (SD Negeri 44 Kota Selatan, Gorontalo) beserta guru dan teman-teman sekelas, juga teman-teman kerja Mama dan Papa. Tetangga di sekitar rumahku pun banyak yang datang, bahkan ada yang datangnya berkali-kali. Karena tamuku banyak, jadi koleksi snack bawaan mereka pun banyak. Aneka biskuit, roti, cokelat. Masalahnya, aku tidak boleh memakan itu semua huhuhu... Sampai suatu hari aku menangis karena sangat ingin memakan itu tapi dilarang dokter. Aku hanya bisa makan makanan dari rumah sakit, plus makan "cemilan" khas berupa pepaya matang yang sudah kemerahan dan lembek dimasak bersama gula batu menjadi semacam bubur. Kebayang kan manisnya dan lembeknya.
Menjelang akhir masa rawat inapku, aku sudah agak kuat meski masih lumpuh. Jadi saat pagi dan sudah mandi, aku digendong Papa dan didudukkan di ruang tamu kamar yang menghadap jendela. Barulah aku bisa menatap dunia luar kembali. Eh tak lama berselang aku melihat keranda jenazah lewat di depan kamar diiringi orang-orang yang menenteng barang sambil menangis. Fiuh...tetanggaku kamarku ada yang meninggal lagi. Hidupku serasa begitu dekat dengan kematian.
Aku akhirnya bisa pulang ke rumah, ketika nafsu makanku membaik dan tidak butuh infus lagi. Namun lututku tetap lemas shingga aku masih lumpuh. Meski demikian menurut dokter itu bisa dirawat jalan karena saraf lututku masih aktif. Itu ditandai ketika dokter memukul lutut dengan alat semacam palu karet, lututku memberikan gerakan reflek.
Butuh waktu sekitar setahun sehingga aku bisa berjalan dan berlari lagi. Dalam masa pemulihan itu, aku memulai semuanya dari nol seperti bayi. Aku berlatih berdiri dengan memegang pada sesuatu. Kemudian aku bisa berdiri sendiri. Lalu aku dilatih berjalan dengan berpegangan pada kursi yang ditarik perlahan. Aku ingat sore-sore habis mandi, Kakakku yang melatih memegangi dan menarik kursi perlahan dan aku berjalan mengikutinya.
Masa pemulihan itu, ketika aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, tetap saja aku bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Makanya aku terus dikasih vitamin saraf oleh dokter. Akhirnya, terbawa hingga ke masa kini ketika dewasa dan menua, ketika berjalan aku terkadang bisa hampir jatuh. Bahkan saat berjalan dari ruangan menuju toilet, beberapa kali aku seperti tersandung sesuatu padahal tidak ada. Mungkin sudah takdir ya.
Menghabiskan waktu 3 minggu di rumah sakit, sebuah masa yang cukup panjang dan berkesan buatku.
Baru habis ngopi, belum pengen makan siang....pengennya nulis
Sekitar sejam yang lalu seorang kawan masa kecil di Gorontalo menelepon, ternyata beliau sedang tugas ke Jakarta. Kemudian, mulai deh ingatan me-rewind ke masa kecil dulu ketika menghabiskan lima tahun di kota Gorontalo.
Dari sekian banyak kenangan, salah satu yang paling berkesan adalah ketika aku jatuh sakit, menderita sakit Hepatitis sehingga harus dirawat inap di RS Aloei Saboe. Awal mula aku sakit ketika bulan Ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir, saat itu aku sudah libur sekolah. Kebiasaan sehabis sholat Subuh, aku membantu Mama membersihkan kenari untuk dibuatkan kue. Tapi entah kenapa aku merasa lesu dan dingin, jadinya kerjaanku tidak selesai dan aku akhirnya berbaring.
Hingga Mama Papa pulang kantor aku masih saja berbaring. Ketika waktu berbuka puasa tiba, aku cuma minum seteguk teh manis dan gigit kecil sebuah kue bolu cokelat. Itu sudah cukup jadi alarm buat ortu bahwa kondisiku tidak main-main. Kemudian aku demam tinggi, plus lututku mendadak lemas sehingga tidak bisa menopang tubuhku sendiri ketika berdiri, alias aku seperti lumpuh. Selain itu betisku jika dipegang terasa sakit sekali. Oh tidak! Kaget plus takut, malam itu juga aku dibawa lari ke RS Siti Khadijah, disana aku dirawat hingga beberapa hari.
Setelah dirawat, tidak ada perubahan padaku. Maka ketika malam takbiran, aku dibawa pulang kembali sama ortu. Besoknya ketika abis sholat idul fitri, tetangga berdatangan ke rumah, menyalami Mama Papa serta aku. Aku dipakaikan baju baru yang dibeli sebelum sakit. Anehnya badanku bengkak, sepatu yang dibeli mendadak tidak muat. Selain itu kulit dan mataku menguning. Mama menangis saat itu.
Sekitar hari ke tiga lebaran, aku dibawa lagi ke RS Aloei Saboe, rumah sakit pemerintah dan lebih lengkap. Disana langsung aku diopname, dipasangi infus juga. Mulai deh menghabiskan waktu di rumah sakit lagi.
Aku menghabiskan kurang lebih 21 hari di rumah sakit. Jadi aku melalui siang dan malam yang panjang disana. Pernah suatu malam aku terbangun karena mendengar suara langkah-langkah kaki cepat dan sebuah kereta didorong. Aku terbangun dan bertanya sama Papa. Papa menjawab bahwa mungkin ada yang meninggal di kamar tetangga. Lalu aku disuruh tidur kembali.
Begitulah, hampir tiap malam dan siang aku mendengar suara keributan di kamar-kamar tetangga (aku dirawat di kamar VIP, jadi penghuninya sendiri-sendiri), biasanya memang si sakit baru meninggal atau dalam keadaan gawat.
Pernah sebuah kejadian lucu, ketika aku sedang divisit dokter dan timnya. Saat itu salah seorang mantri memegang betisku dan memencetnya sehingga sakit. Aku spontan berteriak dan menangis kencang. Ketika itu umurku sudah 11 tahun, jadi suara teriakan aku sudah bukan kayak suara bocah lagi.
Seketika orang-orang berdatangan dan berkumpul di depan kamarku. Kenapa? Ternyata mereka mengira aku sudah meninggal dan yang berteriak histeris itu adalah Mamaku hehehehehehe. Barangkali yang ada dalam pikiran mereka adalah "ya Tuhan, akhirnya anak di kamar itu meninggal juga, sudah lama dia dirawat disitu" 😊😂
Tapi yang sangat menyenangkan adalah ketika siang hari aku mendapat kunjungan dari banyak tamu. Ada Kepala Sekolah di SD aku (SD Negeri 44 Kota Selatan, Gorontalo) beserta guru dan teman-teman sekelas, juga teman-teman kerja Mama dan Papa. Tetangga di sekitar rumahku pun banyak yang datang, bahkan ada yang datangnya berkali-kali. Karena tamuku banyak, jadi koleksi snack bawaan mereka pun banyak. Aneka biskuit, roti, cokelat. Masalahnya, aku tidak boleh memakan itu semua huhuhu... Sampai suatu hari aku menangis karena sangat ingin memakan itu tapi dilarang dokter. Aku hanya bisa makan makanan dari rumah sakit, plus makan "cemilan" khas berupa pepaya matang yang sudah kemerahan dan lembek dimasak bersama gula batu menjadi semacam bubur. Kebayang kan manisnya dan lembeknya.
Menjelang akhir masa rawat inapku, aku sudah agak kuat meski masih lumpuh. Jadi saat pagi dan sudah mandi, aku digendong Papa dan didudukkan di ruang tamu kamar yang menghadap jendela. Barulah aku bisa menatap dunia luar kembali. Eh tak lama berselang aku melihat keranda jenazah lewat di depan kamar diiringi orang-orang yang menenteng barang sambil menangis. Fiuh...tetanggaku kamarku ada yang meninggal lagi. Hidupku serasa begitu dekat dengan kematian.
Aku akhirnya bisa pulang ke rumah, ketika nafsu makanku membaik dan tidak butuh infus lagi. Namun lututku tetap lemas shingga aku masih lumpuh. Meski demikian menurut dokter itu bisa dirawat jalan karena saraf lututku masih aktif. Itu ditandai ketika dokter memukul lutut dengan alat semacam palu karet, lututku memberikan gerakan reflek.
Butuh waktu sekitar setahun sehingga aku bisa berjalan dan berlari lagi. Dalam masa pemulihan itu, aku memulai semuanya dari nol seperti bayi. Aku berlatih berdiri dengan memegang pada sesuatu. Kemudian aku bisa berdiri sendiri. Lalu aku dilatih berjalan dengan berpegangan pada kursi yang ditarik perlahan. Aku ingat sore-sore habis mandi, Kakakku yang melatih memegangi dan menarik kursi perlahan dan aku berjalan mengikutinya.
Masa pemulihan itu, ketika aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, tetap saja aku bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Makanya aku terus dikasih vitamin saraf oleh dokter. Akhirnya, terbawa hingga ke masa kini ketika dewasa dan menua, ketika berjalan aku terkadang bisa hampir jatuh. Bahkan saat berjalan dari ruangan menuju toilet, beberapa kali aku seperti tersandung sesuatu padahal tidak ada. Mungkin sudah takdir ya.
Menghabiskan waktu 3 minggu di rumah sakit, sebuah masa yang cukup panjang dan berkesan buatku.
Kamis, 17 Oktober 2019
Orang Jahat Terlahir Dari Orang Baik Yang Tersakiti ?
bismillah....
Judul tulisanku di atas bukanlah dalam rangka hendak menganalisa, bahkan bukan pula sebuah kesimpulan. Aku tidak berwenang untuk menyimpulkan demikian karena aku bukan ahlinya. Judul di atas merupakan pertanyaan dalam kepalaku, benarkah orang jahat itu terlahir dari orang baik yang tersakiti ?
Bahwa hidup adalah cobaan, itu sebuah keniscayaan. Jika menjadi baik atau jahat menyandarkan pada sebuah ujian dan cobaan hidup, bukankah itu alasan yang mengada-ada? Lebih kedengaran seperti sebuah keputusasaan.
Coba kita tilik dalam sejarah perjalanan Nabi, merekalah yang mengalami ujian hidup yang sangat berat. Namun tidaklah hal tersebut menjadikan mereka berputus asa hingga "banting setir" menjadi penjahat. Bahkan besarnya ujian tersebut justru semakin mendekatkan mereka pada Allah.
Tapi itu kan Nabi, yang memang mendapat wahyu dari Allah, alias digembleng langsung oleh Allah. Panteslah jika kuat dan istiqomah.
Oke, fine.
Tanpa disebut nama pun, terlalu banyak tokoh orang baik yang melegenda, yang berasal dari keterpurukan dan dizhalimi. Perlakuan yang semena-mena dan ketidakadilan atas mereka, tidak lantas menjadikan mereka menemukan alasan untuk menjadi jahat.
Tokoh Joker dalam film berjudul sama dengan namanya tersebut, patutlah dipahami dari sudut pandang berbeda. Bahwa dalam film tersebut dijelaskan bahwa Joker alias Arthur adalah seorang penderita penyakit yang berhubungan dengan psikologisnya, yang mengharuskan ia meminum obat dengan rutin. Penyakit tersebut yang disebabkan oleh kekerasan demi kekerasan yang ia alami semasa kecil oleh ibu angkatnya, terutama trauma di kepalanya.
Selain itu, ini hanyalah sebuah film. Buat aku, terlalu dipaksakan jika sadisme seorang Joker dihubung-hubungkan dengan mental illnessnya. Dalam artian, para penderita mental illness (yang terdiagnosa oleh ahli) janganlah merasa alur film ini merupakan acuan atau merupakan hubungan sebab akibat. Selain itu, bagi penonton yang sedang galau, jangan tetiba merasa menjadi seorang penderita mental illness sehingga merasa film Joker merupakan inspirasi untuk bersikap. Film hanyalah sebuah film. Tetaplah akal dan pikiran serta hati nurani yang menentukan siapa kita, bukannya film. Hanya saja aku sepakat, bagi mereka yang labil pikirannya sebaiknya tidak menonton film ini dan film-film sejenis.
Adalah mengherankan, jika seorang manusia dewasa yang tidak sedang menderita mental illness (terdiagnosa oleh ahli), yang selalu menghubung-hubungkan kelakuan jahatnya karena pengaruh pihak lain di luar dirinya. Apatah lagi jika ia menyatakan bahwa sikap jeleknya itu karena disebabkan oleh si Anu. Idih, betapa pengecutnya, seenaknya bertindak jelek terus melemparkan kesalahan pada orang lain. Jika misalnya ia menyatakan bersalah dan mengakui khilaf karena sebuah trauma, mungkin itu masih bisa diterima. Harusnya pula ia senantiasa dalam keadaan selalu melawan rasa traumanya tersebut. Namun jika malah asyik tenggelam, berbuat jelek bahkan jahat dengan enteng beralasan bahwa ia trauma, wah kebangetan banget.
Menghadapi beberapa trauma dalam hidup, meski keinginan untuk membalas begitu besar namun pilihan untuk menjauh dari orang-orang yang pernah jahat itulah yang kupilih. Jika sudah sedemikian beratnya, kadang berdoa saja. Berdoa menjadikan hati lebih tenang. Lagi pula, kita cukup berpuas diri dengan nasihat malaikat Jibril kepada Rasulullah, yang kira-kira berbunyi "Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, (namun ketahuilah) sesungguhnya engkau pasti akan mati. Cintailah siapa yang engkau suka, (namun ketahuilah) sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Berbuatlah sekehendakmu, kelak engkau pasti akan melihat balasannya".
Itulah salah satu cara untuk survive hidup di dunia. Jika tidak menempuh cara demikian, maka tidak tahu bakal jadi apa aku ini. Pengkhianatan teman dan orang yang kupercaya, pengkhianatan dan perlawanan dari orang yang pernah aku bantu, dan konflik-konflik lainnya, termasuk cibiran dan bullying yang kuterima, jika tidak bersandarkan diri pada Allah, maka hancurlah diri ini.
Antara menjadi malaikat atau iblis, sejatinya manusia tetaplah seorang manusia. Pilihan ada di depan matanya. Jangan memaksakan diri menjadi malaikat atau iblis, karena manusia diberi akal pikiran untuk memilih. Sekali lagi, hidup itu sudah menajdi sunnatullah selalu dipenuhi dengan cobaan dan ujian.
Semoga kita semua termasuk dalam orang-orang yang selalu sabar dan selalu dalam petunjukNya.
Judul tulisanku di atas bukanlah dalam rangka hendak menganalisa, bahkan bukan pula sebuah kesimpulan. Aku tidak berwenang untuk menyimpulkan demikian karena aku bukan ahlinya. Judul di atas merupakan pertanyaan dalam kepalaku, benarkah orang jahat itu terlahir dari orang baik yang tersakiti ?
Bahwa hidup adalah cobaan, itu sebuah keniscayaan. Jika menjadi baik atau jahat menyandarkan pada sebuah ujian dan cobaan hidup, bukankah itu alasan yang mengada-ada? Lebih kedengaran seperti sebuah keputusasaan.
Coba kita tilik dalam sejarah perjalanan Nabi, merekalah yang mengalami ujian hidup yang sangat berat. Namun tidaklah hal tersebut menjadikan mereka berputus asa hingga "banting setir" menjadi penjahat. Bahkan besarnya ujian tersebut justru semakin mendekatkan mereka pada Allah.
Tapi itu kan Nabi, yang memang mendapat wahyu dari Allah, alias digembleng langsung oleh Allah. Panteslah jika kuat dan istiqomah.
Oke, fine.
Tanpa disebut nama pun, terlalu banyak tokoh orang baik yang melegenda, yang berasal dari keterpurukan dan dizhalimi. Perlakuan yang semena-mena dan ketidakadilan atas mereka, tidak lantas menjadikan mereka menemukan alasan untuk menjadi jahat.
Tokoh Joker dalam film berjudul sama dengan namanya tersebut, patutlah dipahami dari sudut pandang berbeda. Bahwa dalam film tersebut dijelaskan bahwa Joker alias Arthur adalah seorang penderita penyakit yang berhubungan dengan psikologisnya, yang mengharuskan ia meminum obat dengan rutin. Penyakit tersebut yang disebabkan oleh kekerasan demi kekerasan yang ia alami semasa kecil oleh ibu angkatnya, terutama trauma di kepalanya.
Selain itu, ini hanyalah sebuah film. Buat aku, terlalu dipaksakan jika sadisme seorang Joker dihubung-hubungkan dengan mental illnessnya. Dalam artian, para penderita mental illness (yang terdiagnosa oleh ahli) janganlah merasa alur film ini merupakan acuan atau merupakan hubungan sebab akibat. Selain itu, bagi penonton yang sedang galau, jangan tetiba merasa menjadi seorang penderita mental illness sehingga merasa film Joker merupakan inspirasi untuk bersikap. Film hanyalah sebuah film. Tetaplah akal dan pikiran serta hati nurani yang menentukan siapa kita, bukannya film. Hanya saja aku sepakat, bagi mereka yang labil pikirannya sebaiknya tidak menonton film ini dan film-film sejenis.
Adalah mengherankan, jika seorang manusia dewasa yang tidak sedang menderita mental illness (terdiagnosa oleh ahli), yang selalu menghubung-hubungkan kelakuan jahatnya karena pengaruh pihak lain di luar dirinya. Apatah lagi jika ia menyatakan bahwa sikap jeleknya itu karena disebabkan oleh si Anu. Idih, betapa pengecutnya, seenaknya bertindak jelek terus melemparkan kesalahan pada orang lain. Jika misalnya ia menyatakan bersalah dan mengakui khilaf karena sebuah trauma, mungkin itu masih bisa diterima. Harusnya pula ia senantiasa dalam keadaan selalu melawan rasa traumanya tersebut. Namun jika malah asyik tenggelam, berbuat jelek bahkan jahat dengan enteng beralasan bahwa ia trauma, wah kebangetan banget.
Menghadapi beberapa trauma dalam hidup, meski keinginan untuk membalas begitu besar namun pilihan untuk menjauh dari orang-orang yang pernah jahat itulah yang kupilih. Jika sudah sedemikian beratnya, kadang berdoa saja. Berdoa menjadikan hati lebih tenang. Lagi pula, kita cukup berpuas diri dengan nasihat malaikat Jibril kepada Rasulullah, yang kira-kira berbunyi "Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, (namun ketahuilah) sesungguhnya engkau pasti akan mati. Cintailah siapa yang engkau suka, (namun ketahuilah) sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Berbuatlah sekehendakmu, kelak engkau pasti akan melihat balasannya".
Itulah salah satu cara untuk survive hidup di dunia. Jika tidak menempuh cara demikian, maka tidak tahu bakal jadi apa aku ini. Pengkhianatan teman dan orang yang kupercaya, pengkhianatan dan perlawanan dari orang yang pernah aku bantu, dan konflik-konflik lainnya, termasuk cibiran dan bullying yang kuterima, jika tidak bersandarkan diri pada Allah, maka hancurlah diri ini.
Antara menjadi malaikat atau iblis, sejatinya manusia tetaplah seorang manusia. Pilihan ada di depan matanya. Jangan memaksakan diri menjadi malaikat atau iblis, karena manusia diberi akal pikiran untuk memilih. Sekali lagi, hidup itu sudah menajdi sunnatullah selalu dipenuhi dengan cobaan dan ujian.
Semoga kita semua termasuk dalam orang-orang yang selalu sabar dan selalu dalam petunjukNya.
Rabu, 16 Oktober 2019
Angsa Putih, Kapan Difilmkan ?
Bismillah...
Ini cerita tentang novel Angsa Putih karya Bu Sunarsasi. Novel ini sesungguhnya merupakan bacaan mingguan aku semasa ABG dulu, ketika Mama langganan tabloid Nova. Angsa Putih adalah sebuah cerita bersambung di tabloid itu. Awalnya aku iseng baca saja, karena semua artikel dan berita sudah selesai dilahap, maka pilihan terakhir adalah cerbungnya. Namun lambat laun, cerbung menempati posisi utama untuk dilahap terlebih dahulu, baru isi tabloid lainnya heheheh.
Singkatnya, novel ini berkisah tentang perjalanan hidup dan kisah cinta gadis keturunan Cina yatim piatu bernama Anli. Sebatang kara hidup menghadapi perlakuan tidak mengenakkan dari tante dan sepupunya sendiri yang iri terhadapnya, juga melalui jalinan kasih bersama Agus hingga menikah justru dengan Abi. Takdir bertitah, akhirnya Anli dan Agus dipersatukan kembali, ketika mereka sama-sama remuk redam dengan hidup mereka masing-masing.
Bu Sunarsasi, yang aku tengarai juga seorang keturunan Cina, menjadikan novel ini seperti sungai, yang lancar mengalir tanpa hambatan untuk dibaca sekaligus dicerna. Tertawa dan sedih mengharu biru silih berganti memenuhi ruang hatiku ketika menelusuri cerita. Konflik yang kian memanas, api cemburu antara Agus Anli dan Abi, hingga Abi lah yang keluar sebagai pemenang untuk mempersunting Anli, membuat sebuah grafik naik turun terhadap emosiku heheheh. Namun sebagai penulis, toh kisah serumit apapun pasti ada jalan keluarnya. Sama sepertiku, kematian adalah salah satu jalan keluar untuk menyatukan tokoh-tokoh dalam cerita. Pilihan untuk "mematikan" tokoh Abi cukup fair dipilih sebagai jalan menyatukan kembali tokoh Agus dan Anli. Romansa antara Anli dan Agus yang seorang pengusaha sukses, mengingatkan aku pada cerita antara Ana dan Mr. Christian Grey hehehe. Betapa perbedaan yang sangat besar tersebut masih merupakan bahan yang menarik untuk dijadikan cerita.
Aku sebenarnya tidak pernah mengira jika cerbung Angsa Putih ternyata dicetak sebagai novel. Baru ketika zaman now aku iseng searching tentang cerbung ini, tahulah aku jika cerbung itu sudah berwujud novel dua jilid. Maka aku meminta suami (lebih tepatnya mrengek hehehe) untuk mencari jika ada yang menjual novel tersebut, jika ada maka belilah. Akhirnya suami belikan aku novel bekas yang dijual kembali, si pemilik sebelumnya berasal dari Temanggung, dibelinya novel ini tahun 1997. Wah cukup jadul juga ya. Nah, jika dari cerbung bisa menjadi novel, kapan kah cerita ini akan difilmkan ya? Hehehe bagus juga ada film di masa kini, dimana ceritanya di masa lalu, masa dimana tanpa gadget. Saling bertukar kabar hanya melalui surat, bukannya WA. Selain itu, aku termasuk yang menyukai gaya bahasa ala jadul, bukan kekinian. Kalaupun memakai gaya bahasa kekinian, cukuplah itu sebagai selipan sahaja. Nah, gaya bahasa novel ini demikian adanya. Gaya santuy cukup sebagai selipan.
Buat penyuka novel jadul, novel Angsa Putih ini recommended.
Ini cerita tentang novel Angsa Putih karya Bu Sunarsasi. Novel ini sesungguhnya merupakan bacaan mingguan aku semasa ABG dulu, ketika Mama langganan tabloid Nova. Angsa Putih adalah sebuah cerita bersambung di tabloid itu. Awalnya aku iseng baca saja, karena semua artikel dan berita sudah selesai dilahap, maka pilihan terakhir adalah cerbungnya. Namun lambat laun, cerbung menempati posisi utama untuk dilahap terlebih dahulu, baru isi tabloid lainnya heheheh.
![]() |
koleksi novel Angsa Putihku |
Bu Sunarsasi, yang aku tengarai juga seorang keturunan Cina, menjadikan novel ini seperti sungai, yang lancar mengalir tanpa hambatan untuk dibaca sekaligus dicerna. Tertawa dan sedih mengharu biru silih berganti memenuhi ruang hatiku ketika menelusuri cerita. Konflik yang kian memanas, api cemburu antara Agus Anli dan Abi, hingga Abi lah yang keluar sebagai pemenang untuk mempersunting Anli, membuat sebuah grafik naik turun terhadap emosiku heheheh. Namun sebagai penulis, toh kisah serumit apapun pasti ada jalan keluarnya. Sama sepertiku, kematian adalah salah satu jalan keluar untuk menyatukan tokoh-tokoh dalam cerita. Pilihan untuk "mematikan" tokoh Abi cukup fair dipilih sebagai jalan menyatukan kembali tokoh Agus dan Anli. Romansa antara Anli dan Agus yang seorang pengusaha sukses, mengingatkan aku pada cerita antara Ana dan Mr. Christian Grey hehehe. Betapa perbedaan yang sangat besar tersebut masih merupakan bahan yang menarik untuk dijadikan cerita.
Aku sebenarnya tidak pernah mengira jika cerbung Angsa Putih ternyata dicetak sebagai novel. Baru ketika zaman now aku iseng searching tentang cerbung ini, tahulah aku jika cerbung itu sudah berwujud novel dua jilid. Maka aku meminta suami (lebih tepatnya mrengek hehehe) untuk mencari jika ada yang menjual novel tersebut, jika ada maka belilah. Akhirnya suami belikan aku novel bekas yang dijual kembali, si pemilik sebelumnya berasal dari Temanggung, dibelinya novel ini tahun 1997. Wah cukup jadul juga ya. Nah, jika dari cerbung bisa menjadi novel, kapan kah cerita ini akan difilmkan ya? Hehehe bagus juga ada film di masa kini, dimana ceritanya di masa lalu, masa dimana tanpa gadget. Saling bertukar kabar hanya melalui surat, bukannya WA. Selain itu, aku termasuk yang menyukai gaya bahasa ala jadul, bukan kekinian. Kalaupun memakai gaya bahasa kekinian, cukuplah itu sebagai selipan sahaja. Nah, gaya bahasa novel ini demikian adanya. Gaya santuy cukup sebagai selipan.
Buat penyuka novel jadul, novel Angsa Putih ini recommended.
Aku, Buku, Kopi dan Hujan
Bismillah...
Oktober sudah memasuki pertengahan, hujan mulai merintik menyapa Bumi yang sudah berbulan-bulan kering kehausan. Musim penghujan, artinya musim yang romantis buat aku. Romantis mengingat masa kanak-kanak dulu, ketika hujan lebat mengguyur maka badanku akan diolesi balsem dan dipakaikan jaket sama Mama untuk melawan dinginnya hawa. Romantis ketika mengingat dulu ketika sudah pulang sekolah dan cuma berdua dengan Kakak di rumah, Mama Papa masih di kantor, aku suka sekali menulis cerpen di meja kamarku, mejanya menghadap jendela dan tetumbuhan sehingga bisa menulis sambil melihat hujan di luar, mendengar merdunya suara air yang jatuh di dedaunan. Keriuhan alam yang indah dan penuh inspirasi.
Kini setelah dewasa, menua dan tinggal di ibukota, jendela yang menghadap pepohonan tinggallah mimpi. Tetapi romantisme hujan tetaplah abadi hingga hujan akhirnya tamat di akhir zaman kelak. Nikmat membaca atau menulis di depan jendela yang menghadap pepohohan ketika hujan, itu tetap membayangi. Tidakkah kamu bayangkan wahai Sobat, itu termasuk salah satu surga dunia ini. Impianku kelak, bakal punya kamar dengan balkonnya, serta memiliki jendela yang menghadap pepohonan lagi, dan kamar itu dilengkapi dengan perpustakaan mini plus teleskop bintang. Jadi ketika siang atau sore bisa membaca, malamnya bisa menonton pertunjukkan bintang dengan teleskop, ditemani Kopi, suami dan anak-anak. Dengan demikian, segala gadget dan televisi pun bakal ditinggal, aamiinn yaa robbal alamiin...
![]() |
gambar diambil dari https://style.tribunnews.com/2017/09/27/8-kegiatan-menyenangkan-yang-bisa-dilakukan-saat-hujan-turun-yang-terakhir-pasti-kamu-setuju?page=3 |
![]() |
gambar ku ambil dari akun FB salah satu temanku, yang diambil dari akun Wild Free |
Selasa, 17 September 2019
Kisah Melahirkan I (Umar)
Bismillah....
Sudah lama tidak posting tulisan lagi. Semuanya karena kesibukan di kantor baru, peran baru dan tesis yang membayangi setiap hari...
Kemarin baca artikel tentang kisah ibu melahirkan, dengan latar belakang (si pembawa cerita) dari seorang dokter kandungan. Aku jadi teringat kisahku dulu melahirkan anak-anakku.
Pengalaman melahirkan anak pertama (Umar) sungguh tidak terlupakan. Dimulai dengan pecah ketuban pada sekitar pukul 00.00 tengah malam di rumah ketika hendak tidur. Baru pertama kali aku merasakan yang namanya pecah ketuban, terasa seperti ada letupan kecil di perut, seperti bunyi "tek" yang lembut kemudian adanya rembesan air bening tak berbau yang tidak dapat ditahan keluar dari jalan lahir. Singkat cerita paniklah kami, karena ini kehamilan anak pertama yang minim pengalaman, maka kami pun segera bersiap ke RS. Karena yang aku baca, jika ketuban pecah duluan maka harus segera ke RS.
Setelah di RS, singkat cerita diusahakanlah untuk melahirkan normal, namun belum ada bukaan. Aku juga tidak merasakan apa-apa. Ketika itu air ketuban tidak selalu merembes. Kadang rembesannya berhenti. Oleh Karena itu aku diminta untuk tiduran. Ketika aku ke toilet, ternyata sudah ada flek darah. Aku yakin itu adalah tanda lahir.
Meski sudah ada flek, tetap saja belum ada mulas. Bayangan operasi sesar muncul, karena dokter mengatakan akan ambil tindakan jika belum lahiran juga, mengingat ketuban sudah keluar. Ternyata rasa mulas baru datang kira-kira 2x24 jam sejak pecah ketuban, saat itu hari sudah sore menjelang Magrib. Sakitnya jangan ditanya deh. Berasa seperti ada 3 batu besar yang tajam di dalam perut dan itu saling beradu. Saking sakitnya, membuat aku tidak mampu bersuara atau mengeluh. Satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut aku hanya "Allah" sahaja.
Aku ingat dulu, ketika mendengar cerita seseorang yang menemui kematian, yang kelihatannya tenang, diam dan tidak kesakitan. Padahal sakaratul maut itu kan sakit. Nah apakah mereka tidak kesakitan makanya bisa tenang dan diam ketika dijemput maut? Ternyata aku dapat jawabannya saat melahirkan Umar. Ketika aku dilanda mulas, aku mampu untuk diam, kelihatan tenang (oleh suster), tapi sejatinya aku sedang merasakan rasa sakit yang paling dahsyat yang pernah aku rasakan. Saking sakitnya, mulutku terkunci dan air mata tidak mampu mengalir. Mama ku yang mendampingi bahkan sampai menyuruh aku untuk mengeluh, untuk keluarkan keluhan atau mengaduh agar sakitnya lega. Tapi aku tidak bisa. Jika aku bersuara, misalnya mengeluh atau merintih saja, yang aku rasa sakitnya makin bertambah. Makanya aku diam, hanya di antara nafas yang tersengal-sengal aku cuma mampu ucapkan "Allah" dengan suara yang parau seperti kambing yang hendak disembelih.
Total aku menahan sakit selama sekitar 1 x 24 jam, karena Umar lahir keesokan harinya tepat jam 18.24 WITA. Aku hapal karena di atas tempat tidur dimana aku melahirkan, terdapat jam dinding. Saat dokter yang memimpin persalinan melihat jam, aku spontan ikut melihat juga.
Ajaib memang, aku merasakan mulas hebat hampir 24 jam, tapi ketika bukaan sudah lengkap, rasa sakitnya entah kemana. Benar-benar hilang tertiup angin hehehe. Ketika bukaan sudah lengkap, dan mulas hilang, aku seperti terhibur walau sedikit, karena justru disinilah puncaknya, yaitu melahirkan. Saat mulas hilang, yang aku rasakan adalah mulas seperti ingin -maaf- BAB yang secara periodik datang dan pergi. Jadi terasa lebih mudah untuk mendorong bayi keluar. Apalagi saat bidan berteriak "curi napas bu!".
Akhirnya setelah kelahiran si Umar, proses menjahit pun dimulai. Aku ingat dengan samar, aku disuntik di paha. Kemudian dimulailah proses menjahit. Yang aku rasakan adalah, tusukan jarum di kulit dan benang ditarik memasuki kulit dan daging. Tapi amazing, semua itu tanpa rasa sakit, karena pengaruh anestesi tadi.
Namun karena -berdasarkan kata dokter- robekannya banyak dan sampai ke dalam, maka diputuskan aku harus dijahit di meja operasi dan dibius total. Fyi, ketika mulas masih berjarak sangat jarang, aku diminumkan air rendaman rumput oleh tetangga yang kebetulan membantu menjagaku di RS, katanya rumput Fatimah. Entahlah, apakah itu yang membuat aku harus dijahit di meja operasi. Yah aku pasrah saja. Akhirnya aku melihat sendiri lampu tiga buah tepat di atasku, serta merasakan pulasnya dibius total. Bener-bener pulas tanpa mimpi apapun.
Ketika hendak sadar, sekonyong-konyong yang aku rasakan adalah mendengar suara yang memanggilku, suara Mamaku.... awalnya terdengar jauh, kemudian berasa di dekatku. Ketika telinga sudah mendengar dengan baik, mata masih berat untuk dibuka. Ternyata aku sudah kembali ke kamar, sudah berbaring di bed pasien, dengan kateter, tampon dan infus yang terpasang. Umar berbaring di box dekat kasurku, belum bisa berbaring dengan aku. Ah sedihnya, tapi semampunya beliau aku susui sedini mungkin, sejak aku masih belum diperkenankan minum dan bangun dari tempat tidur, Umar sudah aku susui karena ASI sudah keluar.
Total aku berada di RS selama sembilan hari, karena pasca operasi HB ku rendah sehingga harus transfusi 2 kantung darah. Selama itu pula suami dan ortu setia menunggui. Perjuangan yang sungguh-sungguh menyita tenaga. Tapi aku bersyukur ketika itu, karena yakin pasti dosa-dosaku diampuni karenanya, dan aku beroleh seorang bayi lucu si Umar yang kini jadi anak baik yang penyayang dan cerdas. Baarakallahufiik ya Umar
Sudah lama tidak posting tulisan lagi. Semuanya karena kesibukan di kantor baru, peran baru dan tesis yang membayangi setiap hari...
Kemarin baca artikel tentang kisah ibu melahirkan, dengan latar belakang (si pembawa cerita) dari seorang dokter kandungan. Aku jadi teringat kisahku dulu melahirkan anak-anakku.
Pengalaman melahirkan anak pertama (Umar) sungguh tidak terlupakan. Dimulai dengan pecah ketuban pada sekitar pukul 00.00 tengah malam di rumah ketika hendak tidur. Baru pertama kali aku merasakan yang namanya pecah ketuban, terasa seperti ada letupan kecil di perut, seperti bunyi "tek" yang lembut kemudian adanya rembesan air bening tak berbau yang tidak dapat ditahan keluar dari jalan lahir. Singkat cerita paniklah kami, karena ini kehamilan anak pertama yang minim pengalaman, maka kami pun segera bersiap ke RS. Karena yang aku baca, jika ketuban pecah duluan maka harus segera ke RS.
Setelah di RS, singkat cerita diusahakanlah untuk melahirkan normal, namun belum ada bukaan. Aku juga tidak merasakan apa-apa. Ketika itu air ketuban tidak selalu merembes. Kadang rembesannya berhenti. Oleh Karena itu aku diminta untuk tiduran. Ketika aku ke toilet, ternyata sudah ada flek darah. Aku yakin itu adalah tanda lahir.
Meski sudah ada flek, tetap saja belum ada mulas. Bayangan operasi sesar muncul, karena dokter mengatakan akan ambil tindakan jika belum lahiran juga, mengingat ketuban sudah keluar. Ternyata rasa mulas baru datang kira-kira 2x24 jam sejak pecah ketuban, saat itu hari sudah sore menjelang Magrib. Sakitnya jangan ditanya deh. Berasa seperti ada 3 batu besar yang tajam di dalam perut dan itu saling beradu. Saking sakitnya, membuat aku tidak mampu bersuara atau mengeluh. Satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut aku hanya "Allah" sahaja.
Aku ingat dulu, ketika mendengar cerita seseorang yang menemui kematian, yang kelihatannya tenang, diam dan tidak kesakitan. Padahal sakaratul maut itu kan sakit. Nah apakah mereka tidak kesakitan makanya bisa tenang dan diam ketika dijemput maut? Ternyata aku dapat jawabannya saat melahirkan Umar. Ketika aku dilanda mulas, aku mampu untuk diam, kelihatan tenang (oleh suster), tapi sejatinya aku sedang merasakan rasa sakit yang paling dahsyat yang pernah aku rasakan. Saking sakitnya, mulutku terkunci dan air mata tidak mampu mengalir. Mama ku yang mendampingi bahkan sampai menyuruh aku untuk mengeluh, untuk keluarkan keluhan atau mengaduh agar sakitnya lega. Tapi aku tidak bisa. Jika aku bersuara, misalnya mengeluh atau merintih saja, yang aku rasa sakitnya makin bertambah. Makanya aku diam, hanya di antara nafas yang tersengal-sengal aku cuma mampu ucapkan "Allah" dengan suara yang parau seperti kambing yang hendak disembelih.
Total aku menahan sakit selama sekitar 1 x 24 jam, karena Umar lahir keesokan harinya tepat jam 18.24 WITA. Aku hapal karena di atas tempat tidur dimana aku melahirkan, terdapat jam dinding. Saat dokter yang memimpin persalinan melihat jam, aku spontan ikut melihat juga.
Ajaib memang, aku merasakan mulas hebat hampir 24 jam, tapi ketika bukaan sudah lengkap, rasa sakitnya entah kemana. Benar-benar hilang tertiup angin hehehe. Ketika bukaan sudah lengkap, dan mulas hilang, aku seperti terhibur walau sedikit, karena justru disinilah puncaknya, yaitu melahirkan. Saat mulas hilang, yang aku rasakan adalah mulas seperti ingin -maaf- BAB yang secara periodik datang dan pergi. Jadi terasa lebih mudah untuk mendorong bayi keluar. Apalagi saat bidan berteriak "curi napas bu!".
Akhirnya setelah kelahiran si Umar, proses menjahit pun dimulai. Aku ingat dengan samar, aku disuntik di paha. Kemudian dimulailah proses menjahit. Yang aku rasakan adalah, tusukan jarum di kulit dan benang ditarik memasuki kulit dan daging. Tapi amazing, semua itu tanpa rasa sakit, karena pengaruh anestesi tadi.
Namun karena -berdasarkan kata dokter- robekannya banyak dan sampai ke dalam, maka diputuskan aku harus dijahit di meja operasi dan dibius total. Fyi, ketika mulas masih berjarak sangat jarang, aku diminumkan air rendaman rumput oleh tetangga yang kebetulan membantu menjagaku di RS, katanya rumput Fatimah. Entahlah, apakah itu yang membuat aku harus dijahit di meja operasi. Yah aku pasrah saja. Akhirnya aku melihat sendiri lampu tiga buah tepat di atasku, serta merasakan pulasnya dibius total. Bener-bener pulas tanpa mimpi apapun.
Ketika hendak sadar, sekonyong-konyong yang aku rasakan adalah mendengar suara yang memanggilku, suara Mamaku.... awalnya terdengar jauh, kemudian berasa di dekatku. Ketika telinga sudah mendengar dengan baik, mata masih berat untuk dibuka. Ternyata aku sudah kembali ke kamar, sudah berbaring di bed pasien, dengan kateter, tampon dan infus yang terpasang. Umar berbaring di box dekat kasurku, belum bisa berbaring dengan aku. Ah sedihnya, tapi semampunya beliau aku susui sedini mungkin, sejak aku masih belum diperkenankan minum dan bangun dari tempat tidur, Umar sudah aku susui karena ASI sudah keluar.
Total aku berada di RS selama sembilan hari, karena pasca operasi HB ku rendah sehingga harus transfusi 2 kantung darah. Selama itu pula suami dan ortu setia menunggui. Perjuangan yang sungguh-sungguh menyita tenaga. Tapi aku bersyukur ketika itu, karena yakin pasti dosa-dosaku diampuni karenanya, dan aku beroleh seorang bayi lucu si Umar yang kini jadi anak baik yang penyayang dan cerdas. Baarakallahufiik ya Umar
Selasa, 29 Januari 2019
Aneh itu Nyata
bismillah..
Kali ini mau cerita tentang pengalaman kuliah di UMJ Cirendeu. Sekian lama, sudah mau 2 tahun rutin kuliah malam di hari kerja dan kuliah pagi sampai siang di hari sabtu, sudah banyak mencetak foto kenangan, ternyata terdapat suatu keanehan.
Aku sudah sering banget lihat postingan foto yang aneh dan ganjil di internet, yang susah untuk dijelaskan. Awalnya aku kira beberapa ada yang editan, hanya untuk seru-seru. Ternyata aku mengalami sendiri, mendapatkan foto yang cukup ganjil dan aneh. Ehmm.....gakk banyak sih, cuma 2 foto aja.
1. Foto ketika kuliah malam
Foto di bawah ini menggambarkan keceriaan kami menanti dosen sambil mengabadikan gambar, seluruh mahasiswa sudah berada dalam kelas, yang memotret adalah ketua kelas sendiri. Sedangkan situasi di luar sudah sunyi karena sudah malam, sekitar jam 7 malam. Biasanya ketika semua sudah masuk kelas, sudah tidak ada lagi orang di lorong/koridor.
dari dua foto yang sama di atas, terlihat di jendela ada sosok yang ikut dipotret, berdiri di jendela ikut menatap kamera. Sekilas tidak ada yang aneh ya, karena bisa saja itu memang teman yang sedang diluar. Meski setelah ini, kami semua ternyata sudah masuk kelas duduk manis menanti dosen.
Keganjilan dan keanehan mulai terasa di foto di atas. Coba perhatikan dengan seksama, jendela kayu dimana sosok itu tertangkap kamera posisinya tertutup dan terkunci rapat. Tapi bisa saja kan kalau sosok itu berdiri dari balik jendela, iya kan? Namun coba perhatikan foto di bawah, foto sosok dia yang di zoom.
dari foto di atas, terlihat jendela tertutup oleh siluet tubuhnya. Artinya, dia berada di dalam jendela, ke arah kami. Bukan di belakang jendela. Tapi bagaimana mungkin demikian, sedangkan jendela dalam keadaan tertutup rapat. Setelah kami lihat dengan seksama, tidak ada dari kami yang mengenali sosoknya, wajahnya tidak nampak jelas.
2. Foto ketika kuliah siang
Kalau yang ini, singkat aja. Selesai kuliah, foto bareng dengan bu Dosen. Aku (yang wajah bintang) sebelahan dengan mba Denok. Foto pertama, posisi aku samping dosen, mba Denok merangkul.
Nah keanehan terjadi pada foto selfie ini, ketika aku melakukan gaya seakan mau acungkan jempol sambil merangkul pundak mba Denok. Mba Denok orang pertama yang menyadari setelah melihat hasil foto, kok jari aku ada 6?
Cuma itu aja sih. Ternyata, Aneh itu (memang) Nyata.
Kali ini mau cerita tentang pengalaman kuliah di UMJ Cirendeu. Sekian lama, sudah mau 2 tahun rutin kuliah malam di hari kerja dan kuliah pagi sampai siang di hari sabtu, sudah banyak mencetak foto kenangan, ternyata terdapat suatu keanehan.
Aku sudah sering banget lihat postingan foto yang aneh dan ganjil di internet, yang susah untuk dijelaskan. Awalnya aku kira beberapa ada yang editan, hanya untuk seru-seru. Ternyata aku mengalami sendiri, mendapatkan foto yang cukup ganjil dan aneh. Ehmm.....gakk banyak sih, cuma 2 foto aja.
1. Foto ketika kuliah malam
Foto di bawah ini menggambarkan keceriaan kami menanti dosen sambil mengabadikan gambar, seluruh mahasiswa sudah berada dalam kelas, yang memotret adalah ketua kelas sendiri. Sedangkan situasi di luar sudah sunyi karena sudah malam, sekitar jam 7 malam. Biasanya ketika semua sudah masuk kelas, sudah tidak ada lagi orang di lorong/koridor.
dari dua foto yang sama di atas, terlihat di jendela ada sosok yang ikut dipotret, berdiri di jendela ikut menatap kamera. Sekilas tidak ada yang aneh ya, karena bisa saja itu memang teman yang sedang diluar. Meski setelah ini, kami semua ternyata sudah masuk kelas duduk manis menanti dosen.
Keganjilan dan keanehan mulai terasa di foto di atas. Coba perhatikan dengan seksama, jendela kayu dimana sosok itu tertangkap kamera posisinya tertutup dan terkunci rapat. Tapi bisa saja kan kalau sosok itu berdiri dari balik jendela, iya kan? Namun coba perhatikan foto di bawah, foto sosok dia yang di zoom.
dari foto di atas, terlihat jendela tertutup oleh siluet tubuhnya. Artinya, dia berada di dalam jendela, ke arah kami. Bukan di belakang jendela. Tapi bagaimana mungkin demikian, sedangkan jendela dalam keadaan tertutup rapat. Setelah kami lihat dengan seksama, tidak ada dari kami yang mengenali sosoknya, wajahnya tidak nampak jelas.
2. Foto ketika kuliah siang
Kalau yang ini, singkat aja. Selesai kuliah, foto bareng dengan bu Dosen. Aku (yang wajah bintang) sebelahan dengan mba Denok. Foto pertama, posisi aku samping dosen, mba Denok merangkul.
Nah keanehan terjadi pada foto selfie ini, ketika aku melakukan gaya seakan mau acungkan jempol sambil merangkul pundak mba Denok. Mba Denok orang pertama yang menyadari setelah melihat hasil foto, kok jari aku ada 6?
Nih, zoomnya. Dibelakang tanganku, ada sebuah jari ikut berfoto. Sekilas, besar jarinya dengan jari aku sama, tapi kulit aja yang beda. Yang jelas, itu bukan jari aku. Adapun mba Denok pada foto tersebut, posisinya di depan aku. Aku sembunyi di belakang punggung mba Denok. Maka sangat tidak mungkin kalau itu jarinya mba Denok. Lagipula, menurut mba Denok, pada foto itu tangannya bertumpu pada kursi bu Dosen biar ga oleng karena kami sama-sama membungkukkan badan.
Cuma itu aja sih. Ternyata, Aneh itu (memang) Nyata.
Kamis, 03 Januari 2019
Mencuci Dosa Adalah Dosa
Bismillah...
Langsung saja ya
Setiap anak Adam pasti berdosa. Namun mencuci dosa ala money laundry tidak menjadikan dosa itu hilang, malah mencuci dosa itu adalah dosa tersendiri. Karena itu termasuk mengelabui, menipu. Jadi dosanya sudah dua, dosa yang lebih dulu ada plus dosa karena mencuci dosa terdahulu itu.
Ngomongin apa sih...
Akalku yang sempit ini hampir-hampir tidak bisa menerima kenyataan melihat fenomena orang ramai-ramai berbuat dosa, dan kemudian mencuci dosa itu sebagaimana halnya kejahatan pencucian uang, dan seiring berlalunya waktu berharap dosa itu menjadi biasa bahkan menjadi (seolah) bukan dosa lagi. Menjadi hal yang lumrah. Oh no.
Zaman sekarang, melihat beberapa manusia yang dulunya aku kenal mereka akrab dengan agama, namun rupanya waktu telah menggerus banyak hal. Mereka manusia biasa juga sebagaimana kamu Titi! Of course. Makanya tulisan ini juga berlaku untuk diriku. Namun jujur ku akui, akalku inilah yang berontak, masih belum bisa menerima jika hal tersebut sudah bukan lagi menjadi sebuah dosa. Sepengetahuan aku, dosa itu tidak lekang oleh waktu. Dosa itu abadi. Sekali Dusta hukum asalnya adalah dosa, maka hingga akhir waktu Dusta pun tetap dosa. Adanya beberapa pengecualian, tidak serta merta membuat si Dusta itu berubah jadi mulia.
Barangkali orang-orang kebanyakan bisa menerima konsep dosa yang lebur dan terkikis hingga lenyap dari pandangan mata mereka, berganti menjadi suatu hal yang biasa. Tetapi tanyalah pada alam, apakah dosa bisa dicuci selain dengan taubat? Apakah dosa bisa dikelabui sehingga menjadi bersih dan lumrah? Alam akan menjawab dengan jujur, dan suara alam itu tidak didengar oleh telingamu, tapi hatimu.
Jadi, kepada (aku dan kalian) yang berdosa, namun (naudzubillah) ingin menutupi dosa itu dengan mengelabui manusia, Dosa tetaplah Dosa. Tiada jalan lain untuk bebas darinya selain mengakui, bertaubat dan mengadakan perbaikan. Terlebih jika dosa itu menyangkut dengan hamba Allah lainnya, kita wajib meminta keikhlasannya. Dosa tidak akan lenyap dengan mendiamkannya selama beberapa waktu, bahkan jika sampai berbilang abad sekalipun. Untuk golongan manusia tertentu, bahkan Allah sampai membuat "monumen" untuk manusia di masa depan mengenangnya sebagai dosa. Lihatlah Firaun, yang tubuhnya dijadikan Allah laksana monumen untuk mengenang perbuatannya. Allah berulang kali berfirman dalam Al Quran agar kita sebagai manusia mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana kesudahan dari kaum-kaum yang berdosa.
Suatu kesalahan yang amat sangat jika menyerahkan pencucian sebuah dosa pada sang Waktu. Waktu mungkin bisa membuat lupa. Namun Waktu tidak mampu mengubah sebuah dosa menjadi sebuah kemuliaan. Alam tetap mencatatnya sebagai dosa. Hanya Taubatlah yang bisa mengubah dosa. Namun bukan taubat namanya jika ingin mengelabui manusia, melakukan seakan-akan dosa itu biasa, dan akhirnya hidup "happily ever after" dengan dosa tersebut. Bukanlah taubat, jika berslogan "kepalang basah, terusin aja mandi sekalian, mandinya tiap hari". Taubat itu jika kepalang basah, segera menarik diri dari kubangan dan membersihkan sisa-sisa air kubangan tersebut. Serta bertekad tidak ingin jatuh ke kubangan itu lagi selamanya.
Ingat, mencuci dosa hanyalah mengubah persepsi, bukan esensi.
Ingat, mencuci dosa hanyalah mengubah persepsi, bukan esensi.
Semoga kita sekalian dijadikan manusia yang senantiasa bertaubat, amiin ya robbal alamiin
Langganan:
Postingan (Atom)