tessssss

Sabtu, 16 November 2019

Bila Desember Tiba


Jauh di dusun yang kecil, disitu rumahku
Lama sudah kutinggalkan, aku rindu
Tahun tahun tlah berlalu, menambah rinduku
Nantikan kedatanganku dusunku

Kuingin mengulang lagi
Kenangan masa kecilku
Kenangan hari natal yang bahagia

Kenangan natal di dusun yang kecil


 Nopember sebentar lagi berlalu dengan cepatnya, Desember pun kini di pelupuk mata. Salah satu bulan yang penuh dengan romantisme buat aku, karena mengingatkanku pada kota Manado kampung halamanku.

Yeah, sebagai daerah dengan mayoritas pemeluk Nasrani, gaung Natal terasa semarak di kota ini. Sejak masih bulan Nopember, ornamen dan pohon Natal sudah mulai terpasang di berbagai pusat perbelanjaan. Tiap hari dengar lagu Holly Night-nya Mariah Carey, Jingle Bell versi Eminem, Merry Christmast-nya Celine Dion, baik di mall-mall maupun di angkot-angkot.

Namun di antara beberapa lagu "wajib" Natal di Manado, ada sebuah lagu yang sangat berkesan buat aku. Lagu itu adalah "Kenangan Natal di Dusun Yang Kecil" , sebuah lagu lawas yang dinyanyikan Charles Hutagalung bersama seorang anak kecil.

Aku lahir dan besar di Manado, dengan dikelilingi keluarga, tetangga dan teman yang mayoritas Nasrani. Sejak kecil hingga sebelum menikah, aku menghabiskan Natal bersama keluarga besar Mama di rumah Oma dan Opa di desa Laikit, sebuah desa yang sejuk penuh dengan kebun dan telaga ikan mas, di kaki gunung Klabat, kabupaten Minahasa Utara.


Opaku bernama Frans Apelles Wullur, seorang pensiunan tentara zaman Belanda. Omaku bernama Dortje Lontoh. Mereka memiliki tujuh anak, yaitu :  Mami Yul Wullur, Mami Syane Wullur, Mami Emma Wullur, Om Nico Wullur, Mami Marie Wullur, Corry Wullur (Mamaku), Om Reppy Wullur.

Setiap tanggal 24 Desember aku sudah diboyong Mama ke Laikit, melewatkan malam Natal bersama Oma dan Opa, bersenda gurau dengan sepupu dan Om serta Tante. Biasanya saat sore aku dan sepupu asyik nonton film bersama, kemudian malamnya kami membantu Oma dan Opa memasang dan menghias pohon Natal.

Besoknya, seisi rumah pergi ke Gereja kecuali aku, kakakku, Mama dan Papa. Kami menanti di rumah sambil menonton tv yang biasanya memutar film keluarga. Setelah balik dari gereja baru deh rumah terasa ramai karena Mama dan kakak beradiknya berkumpul bersama Oma dan Opa. Bersama kami makan ikan mas dan nila woku, duhh enaknya. Entah kapan lagi bisa makan ikan mas woku khas desa Laikit yang legend itu hiks hiks...

Kebiasaan berkumpul tersebut tetap berlanjut hingga Opa meninggal di tahun 2001, kemudian Oma pun meninggal di tahun 2015. Setelah aku menikah dan merantau ke Jakarta, semuanya tinggal kenangan. Tante-Tanteku di Manado masih rutin berkumpul ketika Natal dan Tahun Baru, sementara aku hanya menatap keceriaan mereka di sosial media. Senang deh melihat mereka tetap kompak dan sehat selalu.

Oh ya, satu lagi kenangan masa kecilku ketika bulan Desember, apalagi kalau bukan deg-degan ketika Sinterklas datang berkunjung di komplek rumahku. Meski yang dikunjungi hanya rumah kawan-kawanku yang Nasrani, namun aku sering banget ikut seru-seruannya. Paling dapet permen dari Sinterklas heheheh, setelah sebelumnya harus lari karena dikejar para Zwarte Piet alias Piet Hitam yang suka bawa karung buat diiisi dengan anak yang nakal katanya hehehehhe.

You better wacht out, Santa Claus is coming.....begitu lagu yang khas yang mengingatkan aku pada kenangan Sinterklas. Kenangan Natal di dusun yang kecil, desa Laikit yang penuh dengan kebun Rambutan dan aneka buah, serta penuh dengan telaga dengan teratai dan ikan mas. Entah kapan lagi bisa pulang ke sana. Kangen sekali.

Dari sepupuku yang bernama Richter, aku mendapatkan soft copy foto kenangan. Berikut aku lampirkan beberapa diantaranya.




Natal Tempo Doeloe

Foto di atas sudah lama sekali, aku lupa ini tahun berapa, mungkin sekitar tahun 1985/1986. Disitu aku (cewe paling kecil) berfoto bersama Richter (anaknya Mami Marie, kakak Mama), Kak Wawan (kakakku) dan Harly (anaknya Mami Emma, kakak Mama). Ceria banget ya, kami berpose di atas sebuah skuter di bawah pohon jambu di halaman depan rumah Oma Opa. Hingga terakhir aku mudik ke rumah Oma, pohon jambu itu masih ada.


Foto di atas dari kiri yaitu Kak Femmy (anaknya Mami Syane/Kakak Mama), aku, Harly dan Wawan. Masih di spot favorit kami yaitu skuter di bawah pohon jambu. Entah itu skuter milik siapa ya hehehe...




Foto kenangan semasa Oma dan Opa masih hidup. Opa dengan baju dan topi veteran tentara yang khas. Mulai dari kiri itu Mami Marie, Om Reppy, Mamaku, Om Niko, Mrs.X (aku ga tau itu siapa hehe), Kak Ria, Tante Nel, another Mrs.X, dan Tante Rury (isterinya Om Reppy). Adapun yang berdiri di depan dari kiri yaitu Wawan, Opa, Ronald, Rando, Oma dan Richter.






Nah foto di atas menampilkan momen seru-seruan ketika berkumpul. Mulai dari kiri yaitu Kak Illy, Mami Marie yang sedang berdansa dengan Tante Rury, Mami Emma di belakang Opa yang sedang menggendong Rando. So memorable...




Foto di atas seingatku adalah momen ketika kami ramai-ramai menjemput kedatangan Om Reppy dan Om Niko sekeluarga dari Jakarta. Mulai dari kiri : Kak Elni, Jimmy, aku (baju biru) yang sedang dipangku Oma, Tante Rury, Mami Emma dan Mr.X (aku ga tau, mungkin Om Wens yang bawa mobil kali ya hehe).


Foto di atas diambil ketika Natal 2004, Natal terakhir buat Mami Marie karena April 2005 beliau meninggal hiks hiks. Mulai dari kiri : Kak Reiny, aku (jilbab biru), kak Vonne, Kak Femmy yang memangku Kristanny anaknya Richter, Harly, Kak Fernan (suami kak Femmy, Richter dan isterinya Rynne.




Foto di atas kenangan Natal tahun 2005, selesai makan bersama kami ziarah ke makam Opa dan Mami Marie. Nampak Oma yang sudah makin sepuh, namun ternyata mampu bertahan hingga tahun 2013, beliau wafat dalam usia 92 tahun. 


Foto di atas mulai dari kiri : Richter, Kak Sendy dan aku. Kami lagi ngobrol apa yah ini kok kayak serius banget hehehe. Kak Sendy nih juragan kue kering yang enak-enak. Idul Fitri tahun 2018 lalu aku jauh-jauh dari Tangerang memesan kue lebaran ke Kak Sendy di Tatelu, sebuah desa yang bersebelahan dengan desa Laikit. Habis, di Tangerang sini sangat susah cari kue kering yang enaknya sama dengan kue dari Manado.

Berikut ini foto-foto Natal 2009, ketika kami para cucu sudah dewasa dan berkeluarga. Jadi yang nampak sebagai bocah-bocah disini adalah cicit dari Oma dan Opa ya. Natal tahun 2009 juga si Umar sudah lahir.








Kamis, 07 November 2019

Ketika Menginap Hampir Satu Bulan Di RS Aloei Saboe Gorontalo

Bismillah.....

Baru habis ngopi, belum pengen makan siang....pengennya nulis

Sekitar sejam yang lalu seorang kawan masa kecil di Gorontalo menelepon, ternyata beliau sedang tugas ke Jakarta. Kemudian, mulai deh ingatan me-rewind ke masa kecil dulu ketika menghabiskan lima tahun di kota Gorontalo.

Dari sekian banyak kenangan, salah satu yang paling berkesan adalah ketika aku jatuh sakit, menderita sakit Hepatitis sehingga harus dirawat inap di RS Aloei Saboe. Awal mula aku sakit ketika bulan Ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir, saat itu aku sudah libur sekolah. Kebiasaan sehabis sholat Subuh, aku membantu Mama membersihkan kenari untuk dibuatkan kue. Tapi entah kenapa aku merasa lesu dan dingin, jadinya kerjaanku tidak selesai dan aku akhirnya berbaring.

Hingga Mama Papa pulang kantor aku masih saja berbaring. Ketika waktu berbuka puasa tiba, aku cuma minum seteguk teh manis dan gigit kecil sebuah kue bolu cokelat. Itu sudah cukup jadi alarm buat ortu bahwa kondisiku tidak main-main. Kemudian aku demam tinggi, plus lututku mendadak lemas sehingga tidak bisa menopang tubuhku sendiri ketika berdiri, alias aku seperti lumpuh. Selain itu betisku jika dipegang terasa sakit sekali. Oh tidak! Kaget plus takut, malam itu juga aku dibawa lari ke RS Siti Khadijah, disana aku dirawat hingga beberapa hari.

Setelah dirawat, tidak ada perubahan padaku. Maka ketika malam takbiran, aku dibawa pulang kembali sama ortu. Besoknya ketika abis sholat idul fitri, tetangga berdatangan ke rumah, menyalami Mama Papa serta aku. Aku dipakaikan baju baru yang dibeli sebelum sakit. Anehnya badanku bengkak, sepatu yang dibeli mendadak tidak muat. Selain itu kulit dan mataku menguning. Mama menangis saat itu.

Sekitar hari ke tiga lebaran, aku dibawa lagi ke RS Aloei Saboe, rumah sakit pemerintah dan lebih lengkap. Disana langsung aku diopname, dipasangi infus juga. Mulai deh menghabiskan waktu di rumah sakit lagi.

Aku menghabiskan kurang lebih 21 hari di rumah sakit. Jadi aku melalui siang dan malam yang panjang disana. Pernah suatu malam aku terbangun karena mendengar suara langkah-langkah kaki cepat dan sebuah kereta didorong. Aku terbangun dan bertanya sama Papa. Papa menjawab bahwa mungkin ada yang meninggal di kamar tetangga. Lalu aku disuruh tidur kembali.

Begitulah, hampir tiap malam dan siang aku mendengar suara keributan di kamar-kamar tetangga (aku dirawat di kamar VIP, jadi penghuninya sendiri-sendiri), biasanya memang si sakit baru meninggal atau dalam keadaan gawat.

Pernah sebuah kejadian lucu, ketika aku sedang divisit dokter dan timnya. Saat itu salah seorang mantri memegang betisku dan memencetnya sehingga sakit. Aku spontan berteriak dan menangis kencang. Ketika itu umurku sudah 11 tahun, jadi suara teriakan aku sudah bukan kayak suara bocah lagi.

Seketika orang-orang berdatangan dan berkumpul di depan kamarku. Kenapa? Ternyata mereka mengira aku sudah meninggal dan yang berteriak histeris itu adalah Mamaku hehehehehehe. Barangkali yang ada dalam pikiran mereka adalah "ya Tuhan, akhirnya anak di kamar itu meninggal juga, sudah lama dia dirawat disitu" 😊😂

Tapi yang sangat menyenangkan adalah ketika siang hari aku mendapat kunjungan dari banyak tamu. Ada Kepala Sekolah di SD aku (SD Negeri 44 Kota Selatan, Gorontalo) beserta guru dan teman-teman sekelas, juga teman-teman kerja Mama dan Papa. Tetangga di sekitar rumahku pun banyak yang datang, bahkan ada yang datangnya berkali-kali. Karena tamuku banyak, jadi koleksi snack bawaan mereka pun banyak. Aneka biskuit, roti, cokelat. Masalahnya, aku tidak boleh memakan itu semua huhuhu... Sampai suatu hari aku menangis karena sangat ingin memakan itu tapi dilarang dokter. Aku hanya bisa makan makanan dari rumah sakit, plus makan "cemilan" khas berupa pepaya matang yang sudah kemerahan dan lembek dimasak bersama gula batu menjadi semacam bubur. Kebayang kan manisnya dan lembeknya.

Menjelang akhir masa rawat inapku, aku sudah agak kuat meski masih lumpuh. Jadi saat pagi dan sudah mandi, aku digendong Papa dan didudukkan di ruang tamu kamar yang menghadap jendela. Barulah aku bisa menatap dunia luar kembali. Eh tak lama berselang aku melihat keranda jenazah lewat di depan kamar diiringi orang-orang yang menenteng barang sambil menangis. Fiuh...tetanggaku kamarku ada yang meninggal lagi. Hidupku serasa begitu dekat dengan kematian.

Aku akhirnya bisa pulang ke rumah, ketika nafsu makanku membaik dan tidak butuh infus lagi. Namun lututku tetap lemas shingga aku masih lumpuh. Meski demikian menurut dokter itu bisa dirawat jalan karena saraf lututku masih aktif. Itu ditandai ketika dokter memukul lutut dengan alat semacam palu karet, lututku memberikan gerakan reflek.

Butuh waktu sekitar setahun sehingga aku bisa berjalan dan berlari lagi. Dalam masa pemulihan itu, aku memulai semuanya dari nol seperti bayi. Aku berlatih berdiri dengan memegang pada sesuatu. Kemudian aku bisa berdiri sendiri. Lalu aku dilatih berjalan dengan berpegangan pada kursi yang ditarik perlahan. Aku ingat sore-sore habis mandi, Kakakku yang melatih memegangi dan menarik kursi perlahan dan aku berjalan mengikutinya.

Masa pemulihan itu, ketika aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, tetap saja aku bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Makanya aku terus dikasih vitamin saraf oleh dokter. Akhirnya, terbawa hingga ke masa kini ketika dewasa dan menua, ketika berjalan aku terkadang bisa hampir jatuh. Bahkan saat berjalan dari ruangan menuju toilet, beberapa kali aku seperti tersandung sesuatu padahal tidak ada. Mungkin sudah takdir ya.

Menghabiskan waktu 3 minggu di rumah sakit, sebuah masa yang cukup panjang dan berkesan buatku.