Bismillah...
Hal apakah yang sebenarnya sangat dekat dengan kita? MATI.
Hal apakah yang sebenarnya suatu kepastian yang sangat mutlak dalam hidup kita? MATI.
Karena itu, kata "mati" sudah sangat mengusik pikiranku sejak aku mengenal kematian, ya kematian orang-orang disekitarku. Kegelisahan ini sudah aku rasakan sejak kelas 2 SD, ketika teman sepermainanku tetiba meninggal dunia karena virus rabies.
Karena kematian itu sangat dekat dan sangat pasti, maka sudah seharusnya setiap yang berjiwa dan berakal untuk memikirkan akan hal ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW memberikan penghargaan sebagai "manusia yang paling cerdas" kepada mereka yang selalu mengingat mati. Sebab dengan memikirkan kematian, pikiran manusia akan selalu teringat bahwa hidupnya di dunia ini cuma sementara. Seharusnya segala kenikmatan tidak akan memabukkan, serta segala kesusahan dan kesedihan tidak akan sanggup menghancurkan diri. Sebagaimana kalimat istirja, innaalillaahi wa innaa ilaihi rojiuun, sesungguhnya kami berasal dari Allah dan sesungguhnya kepada Allah kami dikembalikan.
Akupun sebenarnya pernah berada pada fase hidup yang membuatku mengira ajal akan segera menjemputku. Ketika kelas 5 SD aku menderita sakit hepatitis yang membuatku diopname hampir sebulan di RS. Pikiran kanak-kanakku menduga mungkin hidupku tidak lama lagi, mengingat aku yang sangat kepayahan dan dokter RS sepertinya sudah mau angkat tangan dan bersiap mengirimku ke RS propinsi. Hingga disaat-saat terakhir Allah membalikkan keadaan, aku akhirnya bisa pulang ke rumah meski belum divonis sembuh.
Fase berikutnya yang membuatku merasa sangat dekat dengan kematian adalah saat-saat melahirkan Umar dan Nadia. Karena proses melahirkan mereka terbilang tidak mudah, selalu perlu mengambil tindakan segera dari dokter. Saat melahirkan Nadia bahkan aku sempat mengalami kekurangan oksigen sehingga wajahku membiru. Masih terekam dengan jelas, aku yang tadinya sangat tenang menjalani proses pembukaan dengan hypnobirthing, tiba-tiba muntah. Setelah muntah, aku merasakan dan melihat kamar bersalin jadi berputar-putar dengan cepat. Selanjutnya aku tidak bisa bernapas. Sama sekali tidak bisa dan tidak tau caranya menarik napas. Pemandangan di mataku saat itu, yang tadinya kamar berputar dengan cepat tiba-tiba berganti sangat lambat. Semuanya dalam gerakan lambat dan tanpa suara. Aku melihat suamiku dengan muka panik menepuk-nepuk pipiku, seorang perawat mengoles minyak ke hidungku, seorang perawat lagi datang dengan tabung oksigen dan menghubungkan selang oksigen ke hidung, kemudian perawat lainnya datang dengan alat suntik untuk mengambil darahku di lengan. Aku menyaksikan itu semua, dalam gerakan lambat dan tanpa suara. Pendengaranku sangat tenang dan diam. Pikiranku masih utuh. Melihat ekspresi suami dan semua perawat, aku berpikir aku sudah gawat. Melihat ada perawat yang mengambil darahku, aku berpikir jangan-jangan aku mengalami pre eklamsia, si pembunuh ibu melahirkan nomor 2 tertinggi. Mengingat selama hamil Nadia sebagian badan dan jariku bengkak. Tamatlah sudah riwayatku.
Aku yang waktu itu berpikir ajal sudah dekat, akhirnya mengalihkan pandangan ke atas, ke langit-langit kamar. Mencari-cari kehadiran malaikat maut. Sebab dari yang aku baca-baca, manusia yang akan segera meninggal bakal melihat kehadiran malaikat maut tersebut. Sudah sebegitu putusasanya aku saat itu. Subhanallah.
Kadang aku berpikir, kematian adalah kabar baik. Bukankah itu menandakan bahwa kita akan masuk ke fase selanjutnya yang akan mengantarkan pertemuan kita dengan Allah? Bukankah kita mencintai Allah dan Allah pun mencintai kita? Bukankah pertemuan dengan Zat yang sangat mencintai kita adalah saat-saat yang kita nantikan? Jika dengan orangtua, pasangan dan anak (yang notabene adalah titipan) saja kita sebegitu cinta dan sayang, apalagi dengan Zat Maha Pengasih? Jika diujung sana sudah menanti Allah yang maha pengasih, maka pintu kematian yang terbuka untuk kita mestinya disambut dengan gembira.
Meski demikian, mengingat-ingat mati bukan untuk menginginkan mati. Mengingat mati justru menjadi penyemangat manusia di dunia untuk beribadah dan berkarya, berbuat yang terbaik. Mengingat kematian juga menjadi healing bagi penyakit jiwa. Karena segala kenikmatan dan kekecewaan serta penderitaan itu akan diputuskan oleh kematian. Olehh karenanya, janganlah terlalu lupa diri jika sedang mendapat kenikmatan, pun jangan juga terlalu sedih jika mendapat penderitaan. Karena kematian akan mengakhirinya.
Semoga kita menemui kematian dengan husnul khotimah, aamiin yaa robbal alamiin.