tessssss

Jumat, 13 Mei 2022

MATI

 Bismillah...

Hal apakah yang sebenarnya sangat dekat dengan kita? MATI. 

Hal apakah yang sebenarnya suatu kepastian yang sangat mutlak dalam hidup kita? MATI.

Karena itu, kata "mati" sudah sangat mengusik pikiranku sejak aku mengenal kematian, ya kematian orang-orang disekitarku. Kegelisahan ini sudah aku rasakan sejak kelas 2 SD, ketika teman sepermainanku tetiba meninggal dunia karena virus rabies.

Karena kematian itu sangat dekat dan sangat pasti, maka sudah seharusnya setiap yang berjiwa dan berakal untuk memikirkan akan hal ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW memberikan penghargaan sebagai "manusia yang paling cerdas" kepada mereka yang selalu mengingat mati. Sebab dengan memikirkan kematian, pikiran manusia akan selalu teringat bahwa hidupnya di dunia ini cuma sementara. Seharusnya segala kenikmatan tidak akan memabukkan, serta segala kesusahan dan kesedihan tidak akan sanggup menghancurkan diri. Sebagaimana kalimat istirja, innaalillaahi wa innaa ilaihi rojiuun, sesungguhnya kami berasal dari Allah dan sesungguhnya kepada Allah kami dikembalikan.

Akupun sebenarnya pernah berada pada fase hidup yang membuatku mengira ajal akan segera menjemputku. Ketika kelas 5 SD aku menderita sakit hepatitis yang membuatku diopname hampir sebulan di RS. Pikiran kanak-kanakku menduga mungkin hidupku tidak lama lagi, mengingat aku yang sangat kepayahan dan dokter RS sepertinya sudah mau angkat tangan dan bersiap mengirimku ke RS propinsi. Hingga disaat-saat terakhir Allah membalikkan keadaan, aku akhirnya bisa pulang ke rumah meski belum divonis sembuh.

Fase berikutnya yang membuatku merasa sangat dekat dengan kematian adalah saat-saat melahirkan Umar dan Nadia. Karena proses melahirkan mereka terbilang tidak mudah, selalu perlu mengambil tindakan segera dari dokter. Saat melahirkan Nadia bahkan aku sempat mengalami kekurangan oksigen sehingga wajahku membiru. Masih terekam dengan jelas, aku yang tadinya sangat tenang menjalani proses pembukaan dengan hypnobirthing, tiba-tiba muntah. Setelah muntah, aku merasakan dan melihat kamar bersalin jadi berputar-putar dengan cepat. Selanjutnya aku tidak bisa bernapas. Sama sekali tidak bisa dan tidak tau caranya menarik napas. Pemandangan di mataku saat itu, yang tadinya kamar berputar dengan cepat tiba-tiba berganti sangat lambat. Semuanya dalam gerakan lambat dan tanpa suara. Aku melihat suamiku dengan muka panik menepuk-nepuk pipiku, seorang perawat mengoles minyak ke hidungku, seorang perawat lagi datang dengan tabung oksigen dan menghubungkan selang oksigen ke hidung, kemudian perawat lainnya datang dengan alat suntik untuk mengambil darahku di lengan. Aku menyaksikan itu semua, dalam gerakan lambat dan tanpa suara. Pendengaranku sangat tenang dan diam. Pikiranku masih utuh. Melihat ekspresi suami dan semua perawat, aku berpikir aku sudah gawat. Melihat ada perawat yang mengambil darahku, aku berpikir jangan-jangan aku mengalami pre eklamsia, si pembunuh ibu melahirkan nomor 2 tertinggi. Mengingat selama hamil Nadia sebagian badan dan jariku bengkak.  Tamatlah sudah riwayatku.

Aku yang waktu itu berpikir ajal sudah dekat, akhirnya mengalihkan pandangan ke atas, ke langit-langit kamar. Mencari-cari kehadiran malaikat maut. Sebab dari yang aku baca-baca, manusia yang akan segera meninggal bakal melihat kehadiran malaikat maut tersebut. Sudah sebegitu putusasanya aku saat itu. Subhanallah.

Kadang aku berpikir, kematian adalah kabar baik. Bukankah itu menandakan bahwa kita akan masuk ke fase selanjutnya yang akan mengantarkan pertemuan kita dengan Allah? Bukankah kita mencintai Allah dan Allah pun mencintai kita? Bukankah pertemuan dengan Zat yang sangat mencintai kita adalah saat-saat yang kita nantikan? Jika dengan orangtua, pasangan dan anak (yang notabene adalah titipan) saja kita sebegitu cinta dan sayang, apalagi dengan Zat Maha Pengasih? Jika diujung sana sudah menanti Allah yang maha pengasih, maka pintu kematian yang terbuka untuk kita mestinya disambut dengan gembira.

Meski demikian, mengingat-ingat mati bukan untuk menginginkan mati. Mengingat mati justru menjadi penyemangat manusia di dunia untuk beribadah dan berkarya, berbuat yang terbaik. Mengingat kematian juga menjadi healing bagi penyakit jiwa. Karena segala kenikmatan dan kekecewaan serta penderitaan itu akan diputuskan oleh kematian. Olehh karenanya, janganlah terlalu lupa diri jika sedang mendapat kenikmatan, pun jangan juga terlalu sedih jika mendapat penderitaan. Karena kematian akan mengakhirinya.

Semoga kita menemui kematian dengan husnul khotimah, aamiin yaa robbal alamiin.


Kamis, 12 Mei 2022

Hasil Tes Kepribadian Online

 

tes dilakukan di situs https://tes.anthonykusuma.com/


INFP

Introverted Intuitive Feeling Perceiving

Dikenal Sebagai

The Healer (Si Penyembuh)

Penjelasan Singkat

Si Penyembuh cenderung tenang dan pemalu saat berhadapan dengan dunia. Mereka adalah sosok yang idealis dan mencari tahu arti keberadaan segala hal yang ada di sekitar mereka. Para INFP memiliki keinginan yang kuat untuk menyelesaikan konflik yang mengganggu seseorang atau memecah belah pihak. Dalam bekerja, mereka mampu dihadapkan pada persoalan yang rumit namun tidak tahan terhadap rutinitas.

Ciri-ciri

  • Sangat perhatian dan peka dengan perasaan orang lain.
  • Penuh dengan antusiasme dan kesetiaan, tapi biasanya hanya untuk orang dekat.
  • Peduli pada banyak hal. Cenderung mengambil terlalu banyak dan menyelesaikan sebagian.
  • Cenderung idealis dan perfeksionis.
  • Berpikir win-win solution, mempercayai dan mengoptimalkan orang lain.

Saran Pengembangan

  • Belajarlah menghadapi kritik. Jika baik maka kritik itu bisa membangun Anda, namun jika tidak abaikan saja. Jangan ragu pula untuk bertanya dan minta saran.
  • Belajarlah untuk bersikap tegas. Jangan selalu berperasaan dan menyenangkan orang dengan tindakan baik. Bertindak baik itu berbeda dengan bertindak benar.
  • Jangan terlalu menyalahkan diri dan bersikap terlalu keras pada diri sendiri. Kegagalan adalah hal biasa dan semua orang pernah mengalaminya.
  • Jangan terlalu baik pada orang lain tapi melupakan diri sendiri. Anda juga punya tanggungjawab untuk berbuat baik pada diri sendiri.

Profesi yang Cocok

Penulis, Sastrawan, Konselor, Psikolog, Pengajar, Seniman, Rohaniawan, Bidang Hospitality

Partner Alami

ENFJ atau ESFJ

Tokoh Terkenal dengan Kepribadian INFP

  • Aldous Huxley, author
  • Audrey Hepburn, actress
  • Helen Keller, activist and author
  • Isabel Myers Briggs, creator of the Myers-Briggs Type Inventory
  • J. R. R. Tolkien, author
  • Laura Ingalls Wilder, author
  • Princess Diana, Princess of Wales
  • Peter Jackson, filmmaker
  • William Shakespeare, playwright

Minggu, 04 Juli 2021

Pemikiran Brilian dari CQL/the Untamed

 bismillah...

Jika dicermati, terdapat quote dari serial populer ini :

1. Menilai Manusia

Ketika Lan Wangji yang tengah galau bertanya pada kakaknya, Lan Xichen, tentang bagaimana menilai seorang manusia. Apakah penilaian itu hanya terbatas pada "hitam/putih dan benar/salah"? Lan Xichen yang bijaksana itu menjawab, bahwa menilai seorang manusia sebenarnya tidak hanya sebatas "hitam dan putih, benar dan salah", namun terutama penilaian dilakukan pada Hati Nuraninya. 

Moral dari cerita di atas, "hitam dan putih, benar dan salah" hanyalah output semata. Tanpa menggunakan hati nurani, maka hitam dan putih serta benar dan salah dapat menjadi bias. Hati nurani adalah alat untuk mengukurnya. Manusia akan hilang kemanusiaannya jika ia meninggalkan hati nuraninya.


2. Makna Sahabat

Ketika banyak orang memuji dan berusaha merebut hati Wei Ying karena kehebatannya (yang ternyata dia dapatkan melalui jalur sesat), hanya Lan Wangji yang berani menentangnya, bahkan tidak hanya sekali namun berkali-kali sehingga menyebabkan hubungan persahabatan mereka renggang. Namun ketika semua orang sudah mengetahui kesesatan Wei Ying dan beramai-ramai memfitnah dan hendak membunuhnya, hanya Lan Wangjilah yang berdiri disisinya, menyelamatkan dan menghiburnya.

Moral dari cerita di atas, makna sahabat sesungguhnya ialah yang tidak selalu membenarkan tindakanmu, tidak selalu sefrekuensi denganmu. Namun sahabat sejati akan selalu mengingatkan jika sahabatnya tersebut sudah mulai menyimpang. Inilah yang sangat jarang ditemui di zaman ini. Persahabatan sekarang seringnya bermuatan toksik, harus selalu sama, harus selalu seiya sekata. Padahal sesungguhnya dalam persahabatan yang serba "seragam" tersebut, pastinya ada pihak yang berkuasa dan ada pihak yang akan selalu (dipaksa) mengalah. Sungguh toksik. 


Kedua quote di atas, tentunya masih harus kena filter juga. Kesemuanya itu tentunya tidak boleh keluar dari koridor sunnatullah alias hukum alam. 

Rabu, 11 November 2020

Sebuah Kata (Bermakna) Integritas

 Bismillah....

Sudah lama sekali ya aku tidak mengisi blog ini lagi. Postingan terakhir itu dibulan Desember 2019, sudah hampir setahun lalu. Padahal dalam rentang waktu tersebut banyak peristiwa dan cerita yang terjadi. Hanya saja keinginan untuk menulis kalah dengan kesibukan kerja.

Masa sekarang ini ramai dengan kata integritas. Bahkan sampai membuat semacam zona integritas gitu, terutama di kantor dan lembaga. Pertanyaanku hanya satu, mengapa baru sekarang didengungkan? Bukankah sejak baru saja menjadi karyawan atau apalah profesi kita, integritas itu perlu? Bahkan integritas itu sendiri sebenarnya sudah mulai dibangun dan dibentuk seiring pembentukan karakter seorang manusia, yang artinya hal tersebut sudah berlangsung sejak kecil. Karena jika integritas baru mau dibentuk saat sudah dewasa, apatah lagi ketika -kebetulan- sedang memangku suatu amanat a.k.a jabatan, menurutku itu sudah terlambat.

Terdapat beberapa definisi mengenai integritas. Namun aku memakai definisi sendiri mengenai integritas tersebut : Jika berkata ia Jujur. jika berjanji ia menepati, dan jika diberi amanah ia tidak khianat, that's Integrity in my opinion. Narasinya persis seperti pada salah satu hadits Nabi tentang ciri manusia munafik, namun aku terapkan dalam arti yang berkebalikan. Jika salah mohon dikoreksi ya, hehe...

Judul coretanku ini, Sebuah Kata Bermakna Integritas. Sekilas terdengar absurd. Bukankah Integritas adalah sebuah kata? Bagiku, integritas tidaklah hanya sebuah kata, namun ia adalah sebuah makna yang jauh menghunjam ke dalam, melampaui kata Integritas itu sendiri. Integritas adalah karakter. Integritas adalah satu kesatuan dengan jiwa manusia itu sendiri. Artinya, Integritas adalah nilai manusia itu sendiri.

Upaya untuk mengukur sebuah integritas, sama artinya dengan upaya untuk mengukur nilai manusia itu sendiri. Menurut aku, hanya Allah SWT sahaja yang tau sejatinya integritas seseorang, karena Dia lah yang melihat kegiatan tangan dan mulut orang tersebut baik dalam ramai dan sunyi, dalam terang dan gelap, dalam kuat dan lemah, bahkan Dia tahu segala isi hati dan niat yang terbersit pada orang tersebut. Meski demikian, ada sebuah pesan dari seorang sahabat Rasulullah, yaitu Umar bin Khattab r.a., bahwasanya sifat asli seseorang akan muncul dalam tiga kondisi, yaitu saat bermuamalah, saat safar dan saat menginap bersama. Menurutku, itu adalah kondisi yang paling memungkinkan untuk menilai integritas seseorang oleh seorang yang lainnya.

Kegiatan yang memformalkan penilaian akan integritas seseorang, atau sebuah lembaga/organisasi saat ini sedang marak dilakukan. Semangat yang terkandung di dalamnya tentu saja sangat mulia, mewujudkan lembaga/organisasi yang kompeten dalam mengemban amanahnya. Hanya saja, karena ini sengaja dibuat dalam bentuk formal, tentu banyak potensi kegagalan disana sini. Namanya saja dalam bentuk formal dan memformalkan, tentu saja tidak bisa lari dari resiko Formalitas belaka. Ini hanyalah resiko ya, bukan sebuah kemutlakan.

Hemat aku, upaya penilaian formal mengenai integritas haruslah dimulai dari manusianya. Seperti lirik lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, "bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya". Upaya-upaya untuk membangun jiwa-jiwa yang berintegritas, itulah yang seharusnya dirintis terlebih dahulu. Jika para Pemimpin menginginkan Indonesia diurus oleh manusia-manusia berintegritas, maka bangunlah integritas itu sejak dini. Sejak kapan? Sejak baru masuk pegawai? Big NO! Sejak karakter seorang manusia itu mulai membentuk, yaitu sejak kanak-kanak. Bangunlah sebuah sistem pendidikan formal yang berbasis akhlakul karimah. Pendidikan formal berbasis akhlakul karimah ini haruslah berjenjang dan berkelanjutan hingga ke Perguruan Tinggi. Sehingga menghasilkan manusia-manusia profesional yang cerdas dan berintegritas. 

Keberhasilan upaya pembentukan integritas sejak dini dan berkelanjutan tersebut, akan melahirkan cluster-cluster Zona Integritas disegala lini di negeri ini. Tidak hanya diperkantoran, namun di sekolah, di pasar, di jalan, dimana saja. Karena integritas itu tidak sekedar pin yang disematkan di baju, tidak juga berbentuk spanduk tulisan bahwa suatu area itu berintegritas. Integritas itu bukan hanya milik pegawai kantoran atau abdi masyarakat di pemerintahan, tapi juga milik pedagang di pasar, milik pemakai jalan di jalanan, dan milik individu dimanapun ia berada dan sebagai apapun dia. Zona integritas itu datangnya dari pengakuan oleh pemakai jasa/konsumen, bahwa berurusan disuatu lembaga/organisasi itu enak, orangnya jujur, janjinya tepat, pelayanan memuaskan dan profesional, termasuk dalam bertransaksi di pasar misalnya. Pengakuan dari konsumen tersebutlah yang akan menyebar dari mulut ke mulut, bahwa berbelanja di pasar tersebut menyenangkan dan tidak takut akan dicurangi penjual. Itulah contoh output yang diharapkan.

Pembangunan integritas yang berakar pada manusianya, akan melahirkan manusia-manusia yang cinta akan kebenaran materil, bukan hanya kebenaran formil (formalitas). Kebenaran materil itu akan menghasilkan manusia yang senantiasa merasa terus diawasi. Oleh siapa? oleh hati nuraninya sendiri, karena ia tahu hati nurani itu semacam "kepanjangan tangan Tuhan" terhadap dirinya. Orang Islam menyebutnya Muraqobatullah (perasaan selalu diawasi oleh Allah), sedangkan orang Nasrani menyebutnya "manusia yang takut akan Tuhan". Manusia-manusia tipe seperti ini, akan selalu menaati aturan dan menjauhi larangan bahkan ketika bos atau pimpinan tidak ada. Meski pimpinan berhalangan hadir di kantor, ia tetap disiplin seperti biasa. Karena tanggungjawabnya sebenarnya bukan sekedar terhadap pimpinan tapi pada yang Maha Kuasa.

Semoga pembangunan zona-zona yang berintegritas benar-benar berangkat dari niat awal yang mulia, untuk berkarya dan memberikan yang terbaik bagi Ibu Pertiwi.

Sabtu, 28 Desember 2019

Hidup (mestinya) Berfilosofi

bismillah...

Berfilosofi bukanlah berpikir yang rumit dengan mengerutkan kening sambil mengkhayal. Berfilosofi bagi aku adalah memperhatikan kehidupan dalam diri dan sekeliling, termasuk merenungkan berbagai sebab akibat kejadian sehari-hari, baik yang menimpa kita maupun yang menimpa orang lain.

Berfilosofi bagi aku, tidak akan sama dalam perspektif dengan orang lain, karena sudut pandang dan dogma yang dianut berbeda-beda. Bahkan yang seagama pun kadang dogmanya berbeda. Berfilosofi ialah menemukan frekuensi kita dan merasakan siapa saja yang hidup satu frekuensi dengan kita. Sehingga berfilosofi itu akan menjadikan kita bisa merasakan sebuah resonansi,  yaitu saling mempengaruhi getaran antar benda satu dengan benda lain yang berfrekuensi sama.

Berfilosofi sejatinya telah dilakukan sejak kanak-kanak, ketika kita masih bocah dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar. Mengapa ini begini, mengapa itu begitu? Seringnya, pertanyaan itu mengendap dalam benak bocahku, hingga akhirnya mendapatkan sendiri jawabannya ketika dewasa, bahkan hingga setua ini.

Jadi, berfilosofi bukanlah pekerjaan yang rumit, melainkan berfikir ala bocah. Terkadang, filosofi itu kita dapatkan bukan dengan rentetan teori, melainkan dengan sebuah tindakan sederhana namun mendasar. Karena filosofi itu senantiasa menyatukan kita dengan hukum alam (sunnatullah).

Terkadang, aku merasa dalam lingkaran dekatku, katakanlah tempat kerja, tiada yang satu frekuensi dengan aku. Aku tidak berkecil hati. Dunia ini memang memiliki berbagai frekuensi. Namun seringnya justru aku menemukan seseorang yang satu frekuensi dengan aku, melalui bacaan, terutama buku. Itulah yang membuat aku merasa untuk harus terus membaca. Selain membaca buku, juga membaca alam. Alam sejatinya adalah hamparan bacaan yang tiada bertepi.

Maka berfilosofilah...

Filosofimu, adalah auramu. Filosofimu, adalah warna dasar hatimu. Teruslah menjadi jiwa yang "gelisah" akan pertanyaan-pertanyaan dalam hidup. Bermonologlah terus dengan Tuhan. Karena kamu pasti akan selalu satu frekuensi denganNya.


Sabtu, 16 November 2019

Bila Desember Tiba


Jauh di dusun yang kecil, disitu rumahku
Lama sudah kutinggalkan, aku rindu
Tahun tahun tlah berlalu, menambah rinduku
Nantikan kedatanganku dusunku

Kuingin mengulang lagi
Kenangan masa kecilku
Kenangan hari natal yang bahagia

Kenangan natal di dusun yang kecil


 Nopember sebentar lagi berlalu dengan cepatnya, Desember pun kini di pelupuk mata. Salah satu bulan yang penuh dengan romantisme buat aku, karena mengingatkanku pada kota Manado kampung halamanku.

Yeah, sebagai daerah dengan mayoritas pemeluk Nasrani, gaung Natal terasa semarak di kota ini. Sejak masih bulan Nopember, ornamen dan pohon Natal sudah mulai terpasang di berbagai pusat perbelanjaan. Tiap hari dengar lagu Holly Night-nya Mariah Carey, Jingle Bell versi Eminem, Merry Christmast-nya Celine Dion, baik di mall-mall maupun di angkot-angkot.

Namun di antara beberapa lagu "wajib" Natal di Manado, ada sebuah lagu yang sangat berkesan buat aku. Lagu itu adalah "Kenangan Natal di Dusun Yang Kecil" , sebuah lagu lawas yang dinyanyikan Charles Hutagalung bersama seorang anak kecil.

Aku lahir dan besar di Manado, dengan dikelilingi keluarga, tetangga dan teman yang mayoritas Nasrani. Sejak kecil hingga sebelum menikah, aku menghabiskan Natal bersama keluarga besar Mama di rumah Oma dan Opa di desa Laikit, sebuah desa yang sejuk penuh dengan kebun dan telaga ikan mas, di kaki gunung Klabat, kabupaten Minahasa Utara.


Opaku bernama Frans Apelles Wullur, seorang pensiunan tentara zaman Belanda. Omaku bernama Dortje Lontoh. Mereka memiliki tujuh anak, yaitu :  Mami Yul Wullur, Mami Syane Wullur, Mami Emma Wullur, Om Nico Wullur, Mami Marie Wullur, Corry Wullur (Mamaku), Om Reppy Wullur.

Setiap tanggal 24 Desember aku sudah diboyong Mama ke Laikit, melewatkan malam Natal bersama Oma dan Opa, bersenda gurau dengan sepupu dan Om serta Tante. Biasanya saat sore aku dan sepupu asyik nonton film bersama, kemudian malamnya kami membantu Oma dan Opa memasang dan menghias pohon Natal.

Besoknya, seisi rumah pergi ke Gereja kecuali aku, kakakku, Mama dan Papa. Kami menanti di rumah sambil menonton tv yang biasanya memutar film keluarga. Setelah balik dari gereja baru deh rumah terasa ramai karena Mama dan kakak beradiknya berkumpul bersama Oma dan Opa. Bersama kami makan ikan mas dan nila woku, duhh enaknya. Entah kapan lagi bisa makan ikan mas woku khas desa Laikit yang legend itu hiks hiks...

Kebiasaan berkumpul tersebut tetap berlanjut hingga Opa meninggal di tahun 2001, kemudian Oma pun meninggal di tahun 2015. Setelah aku menikah dan merantau ke Jakarta, semuanya tinggal kenangan. Tante-Tanteku di Manado masih rutin berkumpul ketika Natal dan Tahun Baru, sementara aku hanya menatap keceriaan mereka di sosial media. Senang deh melihat mereka tetap kompak dan sehat selalu.

Oh ya, satu lagi kenangan masa kecilku ketika bulan Desember, apalagi kalau bukan deg-degan ketika Sinterklas datang berkunjung di komplek rumahku. Meski yang dikunjungi hanya rumah kawan-kawanku yang Nasrani, namun aku sering banget ikut seru-seruannya. Paling dapet permen dari Sinterklas heheheh, setelah sebelumnya harus lari karena dikejar para Zwarte Piet alias Piet Hitam yang suka bawa karung buat diiisi dengan anak yang nakal katanya hehehehhe.

You better wacht out, Santa Claus is coming.....begitu lagu yang khas yang mengingatkan aku pada kenangan Sinterklas. Kenangan Natal di dusun yang kecil, desa Laikit yang penuh dengan kebun Rambutan dan aneka buah, serta penuh dengan telaga dengan teratai dan ikan mas. Entah kapan lagi bisa pulang ke sana. Kangen sekali.

Dari sepupuku yang bernama Richter, aku mendapatkan soft copy foto kenangan. Berikut aku lampirkan beberapa diantaranya.




Natal Tempo Doeloe

Foto di atas sudah lama sekali, aku lupa ini tahun berapa, mungkin sekitar tahun 1985/1986. Disitu aku (cewe paling kecil) berfoto bersama Richter (anaknya Mami Marie, kakak Mama), Kak Wawan (kakakku) dan Harly (anaknya Mami Emma, kakak Mama). Ceria banget ya, kami berpose di atas sebuah skuter di bawah pohon jambu di halaman depan rumah Oma Opa. Hingga terakhir aku mudik ke rumah Oma, pohon jambu itu masih ada.


Foto di atas dari kiri yaitu Kak Femmy (anaknya Mami Syane/Kakak Mama), aku, Harly dan Wawan. Masih di spot favorit kami yaitu skuter di bawah pohon jambu. Entah itu skuter milik siapa ya hehehe...




Foto kenangan semasa Oma dan Opa masih hidup. Opa dengan baju dan topi veteran tentara yang khas. Mulai dari kiri itu Mami Marie, Om Reppy, Mamaku, Om Niko, Mrs.X (aku ga tau itu siapa hehe), Kak Ria, Tante Nel, another Mrs.X, dan Tante Rury (isterinya Om Reppy). Adapun yang berdiri di depan dari kiri yaitu Wawan, Opa, Ronald, Rando, Oma dan Richter.






Nah foto di atas menampilkan momen seru-seruan ketika berkumpul. Mulai dari kiri yaitu Kak Illy, Mami Marie yang sedang berdansa dengan Tante Rury, Mami Emma di belakang Opa yang sedang menggendong Rando. So memorable...




Foto di atas seingatku adalah momen ketika kami ramai-ramai menjemput kedatangan Om Reppy dan Om Niko sekeluarga dari Jakarta. Mulai dari kiri : Kak Elni, Jimmy, aku (baju biru) yang sedang dipangku Oma, Tante Rury, Mami Emma dan Mr.X (aku ga tau, mungkin Om Wens yang bawa mobil kali ya hehe).


Foto di atas diambil ketika Natal 2004, Natal terakhir buat Mami Marie karena April 2005 beliau meninggal hiks hiks. Mulai dari kiri : Kak Reiny, aku (jilbab biru), kak Vonne, Kak Femmy yang memangku Kristanny anaknya Richter, Harly, Kak Fernan (suami kak Femmy, Richter dan isterinya Rynne.




Foto di atas kenangan Natal tahun 2005, selesai makan bersama kami ziarah ke makam Opa dan Mami Marie. Nampak Oma yang sudah makin sepuh, namun ternyata mampu bertahan hingga tahun 2013, beliau wafat dalam usia 92 tahun. 


Foto di atas mulai dari kiri : Richter, Kak Sendy dan aku. Kami lagi ngobrol apa yah ini kok kayak serius banget hehehe. Kak Sendy nih juragan kue kering yang enak-enak. Idul Fitri tahun 2018 lalu aku jauh-jauh dari Tangerang memesan kue lebaran ke Kak Sendy di Tatelu, sebuah desa yang bersebelahan dengan desa Laikit. Habis, di Tangerang sini sangat susah cari kue kering yang enaknya sama dengan kue dari Manado.

Berikut ini foto-foto Natal 2009, ketika kami para cucu sudah dewasa dan berkeluarga. Jadi yang nampak sebagai bocah-bocah disini adalah cicit dari Oma dan Opa ya. Natal tahun 2009 juga si Umar sudah lahir.








Kamis, 07 November 2019

Ketika Menginap Hampir Satu Bulan Di RS Aloei Saboe Gorontalo

Bismillah.....

Baru habis ngopi, belum pengen makan siang....pengennya nulis

Sekitar sejam yang lalu seorang kawan masa kecil di Gorontalo menelepon, ternyata beliau sedang tugas ke Jakarta. Kemudian, mulai deh ingatan me-rewind ke masa kecil dulu ketika menghabiskan lima tahun di kota Gorontalo.

Dari sekian banyak kenangan, salah satu yang paling berkesan adalah ketika aku jatuh sakit, menderita sakit Hepatitis sehingga harus dirawat inap di RS Aloei Saboe. Awal mula aku sakit ketika bulan Ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir, saat itu aku sudah libur sekolah. Kebiasaan sehabis sholat Subuh, aku membantu Mama membersihkan kenari untuk dibuatkan kue. Tapi entah kenapa aku merasa lesu dan dingin, jadinya kerjaanku tidak selesai dan aku akhirnya berbaring.

Hingga Mama Papa pulang kantor aku masih saja berbaring. Ketika waktu berbuka puasa tiba, aku cuma minum seteguk teh manis dan gigit kecil sebuah kue bolu cokelat. Itu sudah cukup jadi alarm buat ortu bahwa kondisiku tidak main-main. Kemudian aku demam tinggi, plus lututku mendadak lemas sehingga tidak bisa menopang tubuhku sendiri ketika berdiri, alias aku seperti lumpuh. Selain itu betisku jika dipegang terasa sakit sekali. Oh tidak! Kaget plus takut, malam itu juga aku dibawa lari ke RS Siti Khadijah, disana aku dirawat hingga beberapa hari.

Setelah dirawat, tidak ada perubahan padaku. Maka ketika malam takbiran, aku dibawa pulang kembali sama ortu. Besoknya ketika abis sholat idul fitri, tetangga berdatangan ke rumah, menyalami Mama Papa serta aku. Aku dipakaikan baju baru yang dibeli sebelum sakit. Anehnya badanku bengkak, sepatu yang dibeli mendadak tidak muat. Selain itu kulit dan mataku menguning. Mama menangis saat itu.

Sekitar hari ke tiga lebaran, aku dibawa lagi ke RS Aloei Saboe, rumah sakit pemerintah dan lebih lengkap. Disana langsung aku diopname, dipasangi infus juga. Mulai deh menghabiskan waktu di rumah sakit lagi.

Aku menghabiskan kurang lebih 21 hari di rumah sakit. Jadi aku melalui siang dan malam yang panjang disana. Pernah suatu malam aku terbangun karena mendengar suara langkah-langkah kaki cepat dan sebuah kereta didorong. Aku terbangun dan bertanya sama Papa. Papa menjawab bahwa mungkin ada yang meninggal di kamar tetangga. Lalu aku disuruh tidur kembali.

Begitulah, hampir tiap malam dan siang aku mendengar suara keributan di kamar-kamar tetangga (aku dirawat di kamar VIP, jadi penghuninya sendiri-sendiri), biasanya memang si sakit baru meninggal atau dalam keadaan gawat.

Pernah sebuah kejadian lucu, ketika aku sedang divisit dokter dan timnya. Saat itu salah seorang mantri memegang betisku dan memencetnya sehingga sakit. Aku spontan berteriak dan menangis kencang. Ketika itu umurku sudah 11 tahun, jadi suara teriakan aku sudah bukan kayak suara bocah lagi.

Seketika orang-orang berdatangan dan berkumpul di depan kamarku. Kenapa? Ternyata mereka mengira aku sudah meninggal dan yang berteriak histeris itu adalah Mamaku hehehehehehe. Barangkali yang ada dalam pikiran mereka adalah "ya Tuhan, akhirnya anak di kamar itu meninggal juga, sudah lama dia dirawat disitu" 😊😂

Tapi yang sangat menyenangkan adalah ketika siang hari aku mendapat kunjungan dari banyak tamu. Ada Kepala Sekolah di SD aku (SD Negeri 44 Kota Selatan, Gorontalo) beserta guru dan teman-teman sekelas, juga teman-teman kerja Mama dan Papa. Tetangga di sekitar rumahku pun banyak yang datang, bahkan ada yang datangnya berkali-kali. Karena tamuku banyak, jadi koleksi snack bawaan mereka pun banyak. Aneka biskuit, roti, cokelat. Masalahnya, aku tidak boleh memakan itu semua huhuhu... Sampai suatu hari aku menangis karena sangat ingin memakan itu tapi dilarang dokter. Aku hanya bisa makan makanan dari rumah sakit, plus makan "cemilan" khas berupa pepaya matang yang sudah kemerahan dan lembek dimasak bersama gula batu menjadi semacam bubur. Kebayang kan manisnya dan lembeknya.

Menjelang akhir masa rawat inapku, aku sudah agak kuat meski masih lumpuh. Jadi saat pagi dan sudah mandi, aku digendong Papa dan didudukkan di ruang tamu kamar yang menghadap jendela. Barulah aku bisa menatap dunia luar kembali. Eh tak lama berselang aku melihat keranda jenazah lewat di depan kamar diiringi orang-orang yang menenteng barang sambil menangis. Fiuh...tetanggaku kamarku ada yang meninggal lagi. Hidupku serasa begitu dekat dengan kematian.

Aku akhirnya bisa pulang ke rumah, ketika nafsu makanku membaik dan tidak butuh infus lagi. Namun lututku tetap lemas shingga aku masih lumpuh. Meski demikian menurut dokter itu bisa dirawat jalan karena saraf lututku masih aktif. Itu ditandai ketika dokter memukul lutut dengan alat semacam palu karet, lututku memberikan gerakan reflek.

Butuh waktu sekitar setahun sehingga aku bisa berjalan dan berlari lagi. Dalam masa pemulihan itu, aku memulai semuanya dari nol seperti bayi. Aku berlatih berdiri dengan memegang pada sesuatu. Kemudian aku bisa berdiri sendiri. Lalu aku dilatih berjalan dengan berpegangan pada kursi yang ditarik perlahan. Aku ingat sore-sore habis mandi, Kakakku yang melatih memegangi dan menarik kursi perlahan dan aku berjalan mengikutinya.

Masa pemulihan itu, ketika aku sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri, tetap saja aku bisa tiba-tiba jatuh sendiri. Makanya aku terus dikasih vitamin saraf oleh dokter. Akhirnya, terbawa hingga ke masa kini ketika dewasa dan menua, ketika berjalan aku terkadang bisa hampir jatuh. Bahkan saat berjalan dari ruangan menuju toilet, beberapa kali aku seperti tersandung sesuatu padahal tidak ada. Mungkin sudah takdir ya.

Menghabiskan waktu 3 minggu di rumah sakit, sebuah masa yang cukup panjang dan berkesan buatku.