tessssss

Rabu, 11 November 2020

Sebuah Kata (Bermakna) Integritas

 Bismillah....

Sudah lama sekali ya aku tidak mengisi blog ini lagi. Postingan terakhir itu dibulan Desember 2019, sudah hampir setahun lalu. Padahal dalam rentang waktu tersebut banyak peristiwa dan cerita yang terjadi. Hanya saja keinginan untuk menulis kalah dengan kesibukan kerja.

Masa sekarang ini ramai dengan kata integritas. Bahkan sampai membuat semacam zona integritas gitu, terutama di kantor dan lembaga. Pertanyaanku hanya satu, mengapa baru sekarang didengungkan? Bukankah sejak baru saja menjadi karyawan atau apalah profesi kita, integritas itu perlu? Bahkan integritas itu sendiri sebenarnya sudah mulai dibangun dan dibentuk seiring pembentukan karakter seorang manusia, yang artinya hal tersebut sudah berlangsung sejak kecil. Karena jika integritas baru mau dibentuk saat sudah dewasa, apatah lagi ketika -kebetulan- sedang memangku suatu amanat a.k.a jabatan, menurutku itu sudah terlambat.

Terdapat beberapa definisi mengenai integritas. Namun aku memakai definisi sendiri mengenai integritas tersebut : Jika berkata ia Jujur. jika berjanji ia menepati, dan jika diberi amanah ia tidak khianat, that's Integrity in my opinion. Narasinya persis seperti pada salah satu hadits Nabi tentang ciri manusia munafik, namun aku terapkan dalam arti yang berkebalikan. Jika salah mohon dikoreksi ya, hehe...

Judul coretanku ini, Sebuah Kata Bermakna Integritas. Sekilas terdengar absurd. Bukankah Integritas adalah sebuah kata? Bagiku, integritas tidaklah hanya sebuah kata, namun ia adalah sebuah makna yang jauh menghunjam ke dalam, melampaui kata Integritas itu sendiri. Integritas adalah karakter. Integritas adalah satu kesatuan dengan jiwa manusia itu sendiri. Artinya, Integritas adalah nilai manusia itu sendiri.

Upaya untuk mengukur sebuah integritas, sama artinya dengan upaya untuk mengukur nilai manusia itu sendiri. Menurut aku, hanya Allah SWT sahaja yang tau sejatinya integritas seseorang, karena Dia lah yang melihat kegiatan tangan dan mulut orang tersebut baik dalam ramai dan sunyi, dalam terang dan gelap, dalam kuat dan lemah, bahkan Dia tahu segala isi hati dan niat yang terbersit pada orang tersebut. Meski demikian, ada sebuah pesan dari seorang sahabat Rasulullah, yaitu Umar bin Khattab r.a., bahwasanya sifat asli seseorang akan muncul dalam tiga kondisi, yaitu saat bermuamalah, saat safar dan saat menginap bersama. Menurutku, itu adalah kondisi yang paling memungkinkan untuk menilai integritas seseorang oleh seorang yang lainnya.

Kegiatan yang memformalkan penilaian akan integritas seseorang, atau sebuah lembaga/organisasi saat ini sedang marak dilakukan. Semangat yang terkandung di dalamnya tentu saja sangat mulia, mewujudkan lembaga/organisasi yang kompeten dalam mengemban amanahnya. Hanya saja, karena ini sengaja dibuat dalam bentuk formal, tentu banyak potensi kegagalan disana sini. Namanya saja dalam bentuk formal dan memformalkan, tentu saja tidak bisa lari dari resiko Formalitas belaka. Ini hanyalah resiko ya, bukan sebuah kemutlakan.

Hemat aku, upaya penilaian formal mengenai integritas haruslah dimulai dari manusianya. Seperti lirik lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, "bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya". Upaya-upaya untuk membangun jiwa-jiwa yang berintegritas, itulah yang seharusnya dirintis terlebih dahulu. Jika para Pemimpin menginginkan Indonesia diurus oleh manusia-manusia berintegritas, maka bangunlah integritas itu sejak dini. Sejak kapan? Sejak baru masuk pegawai? Big NO! Sejak karakter seorang manusia itu mulai membentuk, yaitu sejak kanak-kanak. Bangunlah sebuah sistem pendidikan formal yang berbasis akhlakul karimah. Pendidikan formal berbasis akhlakul karimah ini haruslah berjenjang dan berkelanjutan hingga ke Perguruan Tinggi. Sehingga menghasilkan manusia-manusia profesional yang cerdas dan berintegritas. 

Keberhasilan upaya pembentukan integritas sejak dini dan berkelanjutan tersebut, akan melahirkan cluster-cluster Zona Integritas disegala lini di negeri ini. Tidak hanya diperkantoran, namun di sekolah, di pasar, di jalan, dimana saja. Karena integritas itu tidak sekedar pin yang disematkan di baju, tidak juga berbentuk spanduk tulisan bahwa suatu area itu berintegritas. Integritas itu bukan hanya milik pegawai kantoran atau abdi masyarakat di pemerintahan, tapi juga milik pedagang di pasar, milik pemakai jalan di jalanan, dan milik individu dimanapun ia berada dan sebagai apapun dia. Zona integritas itu datangnya dari pengakuan oleh pemakai jasa/konsumen, bahwa berurusan disuatu lembaga/organisasi itu enak, orangnya jujur, janjinya tepat, pelayanan memuaskan dan profesional, termasuk dalam bertransaksi di pasar misalnya. Pengakuan dari konsumen tersebutlah yang akan menyebar dari mulut ke mulut, bahwa berbelanja di pasar tersebut menyenangkan dan tidak takut akan dicurangi penjual. Itulah contoh output yang diharapkan.

Pembangunan integritas yang berakar pada manusianya, akan melahirkan manusia-manusia yang cinta akan kebenaran materil, bukan hanya kebenaran formil (formalitas). Kebenaran materil itu akan menghasilkan manusia yang senantiasa merasa terus diawasi. Oleh siapa? oleh hati nuraninya sendiri, karena ia tahu hati nurani itu semacam "kepanjangan tangan Tuhan" terhadap dirinya. Orang Islam menyebutnya Muraqobatullah (perasaan selalu diawasi oleh Allah), sedangkan orang Nasrani menyebutnya "manusia yang takut akan Tuhan". Manusia-manusia tipe seperti ini, akan selalu menaati aturan dan menjauhi larangan bahkan ketika bos atau pimpinan tidak ada. Meski pimpinan berhalangan hadir di kantor, ia tetap disiplin seperti biasa. Karena tanggungjawabnya sebenarnya bukan sekedar terhadap pimpinan tapi pada yang Maha Kuasa.

Semoga pembangunan zona-zona yang berintegritas benar-benar berangkat dari niat awal yang mulia, untuk berkarya dan memberikan yang terbaik bagi Ibu Pertiwi.