tessssss

Selasa, 17 September 2019

Kisah Melahirkan I (Umar)

Bismillah....

Sudah lama tidak posting tulisan lagi. Semuanya karena kesibukan di kantor baru, peran baru dan tesis yang membayangi setiap hari...

Kemarin baca artikel tentang kisah ibu melahirkan, dengan latar belakang (si pembawa cerita) dari seorang dokter kandungan. Aku jadi teringat kisahku dulu melahirkan anak-anakku.  

Pengalaman melahirkan anak pertama (Umar) sungguh tidak terlupakan. Dimulai dengan pecah ketuban pada sekitar pukul 00.00 tengah malam di rumah ketika hendak tidur. Baru pertama kali aku merasakan yang namanya pecah ketuban, terasa seperti ada letupan kecil di perut, seperti bunyi "tek" yang lembut kemudian adanya rembesan air bening tak berbau yang tidak dapat ditahan keluar dari jalan lahir. Singkat cerita paniklah kami, karena ini kehamilan anak pertama yang minim pengalaman, maka kami pun segera bersiap ke RS. Karena yang aku baca, jika ketuban pecah duluan maka harus segera ke RS. 

Setelah di RS, singkat  cerita diusahakanlah untuk melahirkan normal, namun belum ada bukaan. Aku juga tidak merasakan apa-apa. Ketika itu air ketuban tidak selalu merembes. Kadang rembesannya berhenti. Oleh Karena itu aku diminta untuk tiduran. Ketika aku ke toilet, ternyata sudah ada flek darah. Aku yakin itu adalah tanda lahir.

Meski sudah ada flek, tetap saja belum ada mulas. Bayangan operasi sesar muncul, karena dokter mengatakan akan ambil tindakan jika belum lahiran juga, mengingat ketuban sudah keluar. Ternyata rasa mulas baru datang kira-kira 2x24 jam sejak pecah ketuban, saat itu hari sudah sore menjelang Magrib. Sakitnya jangan ditanya deh. Berasa seperti ada 3 batu besar yang tajam di dalam perut dan itu saling beradu. Saking sakitnya, membuat aku tidak mampu bersuara atau mengeluh. Satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulut aku hanya "Allah" sahaja. 

Aku ingat dulu, ketika mendengar cerita seseorang yang menemui kematian, yang kelihatannya tenang, diam dan tidak kesakitan. Padahal sakaratul maut itu kan sakit. Nah apakah mereka tidak kesakitan makanya bisa tenang dan diam ketika dijemput maut? Ternyata aku dapat jawabannya saat melahirkan Umar. Ketika aku dilanda mulas, aku mampu untuk diam, kelihatan tenang (oleh suster), tapi sejatinya aku sedang merasakan rasa sakit yang paling dahsyat yang pernah aku rasakan. Saking sakitnya, mulutku terkunci dan air mata tidak mampu mengalir. Mama ku yang mendampingi bahkan sampai menyuruh aku untuk mengeluh, untuk keluarkan keluhan atau mengaduh agar sakitnya lega. Tapi aku tidak bisa. Jika aku bersuara, misalnya mengeluh atau merintih saja, yang aku rasa sakitnya makin bertambah. Makanya aku diam, hanya di antara nafas yang tersengal-sengal aku cuma mampu ucapkan "Allah" dengan suara yang parau seperti kambing yang hendak disembelih.

Total aku menahan sakit selama sekitar 1 x 24 jam, karena Umar lahir keesokan harinya tepat jam 18.24 WITA. Aku hapal karena di atas tempat tidur dimana aku melahirkan, terdapat jam dinding. Saat dokter yang memimpin persalinan melihat jam, aku spontan ikut melihat juga. 

Ajaib memang, aku merasakan mulas hebat hampir 24 jam, tapi ketika bukaan sudah lengkap, rasa sakitnya entah kemana. Benar-benar hilang tertiup angin hehehe. Ketika bukaan sudah lengkap, dan mulas hilang, aku seperti terhibur walau sedikit, karena justru disinilah puncaknya, yaitu melahirkan. Saat mulas hilang, yang aku rasakan adalah mulas seperti ingin -maaf- BAB yang secara periodik datang dan pergi. Jadi terasa lebih mudah untuk mendorong bayi keluar. Apalagi saat bidan berteriak "curi napas bu!". 

Akhirnya setelah kelahiran si Umar, proses menjahit pun dimulai. Aku ingat dengan samar, aku disuntik di paha. Kemudian dimulailah proses menjahit. Yang aku rasakan adalah, tusukan jarum di kulit dan benang ditarik memasuki kulit dan daging. Tapi amazing, semua itu tanpa rasa sakit, karena pengaruh anestesi tadi.

Namun karena -berdasarkan kata dokter- robekannya banyak dan sampai ke dalam, maka diputuskan aku harus dijahit di meja operasi dan dibius total. Fyi, ketika mulas masih berjarak sangat jarang, aku diminumkan air rendaman rumput oleh tetangga yang kebetulan membantu menjagaku di RS, katanya rumput Fatimah. Entahlah, apakah itu yang membuat aku harus dijahit di meja operasi. Yah aku pasrah saja. Akhirnya aku melihat sendiri lampu tiga buah tepat di atasku, serta merasakan pulasnya dibius total. Bener-bener pulas tanpa mimpi apapun.

Ketika hendak sadar, sekonyong-konyong yang aku rasakan adalah mendengar suara yang memanggilku, suara Mamaku.... awalnya terdengar jauh, kemudian berasa di dekatku. Ketika telinga sudah mendengar dengan baik, mata masih berat untuk dibuka. Ternyata aku sudah kembali ke kamar, sudah berbaring di bed pasien, dengan kateter, tampon dan infus yang terpasang. Umar berbaring di box dekat kasurku, belum bisa berbaring dengan aku. Ah sedihnya, tapi semampunya beliau aku susui sedini mungkin, sejak aku masih belum diperkenankan minum dan bangun dari tempat tidur, Umar sudah aku susui karena ASI sudah keluar. 

Total aku berada di RS selama sembilan hari, karena pasca operasi HB ku rendah sehingga harus transfusi 2 kantung darah. Selama itu pula suami dan ortu setia menunggui. Perjuangan yang sungguh-sungguh menyita tenaga. Tapi aku bersyukur ketika itu, karena yakin pasti dosa-dosaku diampuni karenanya, dan aku beroleh seorang bayi lucu si Umar yang kini jadi anak baik yang penyayang dan cerdas. Baarakallahufiik ya Umar